Dinamika kebijakan perdagangan di Amerika Serikat (AS) kembali jadi perhatian pelaku pasar. April lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif bea masuk resiprokal terhadap lebih dari 60 negara. Makin tinggi surplus perdagangan yang dialami suatu negara dengan AS, maka tarif bea masuknya makin tinggi.
Namun kebijakan itu kemudian ditunda 90 hari untuk memberi kesempatan negosiasi. Kini tenggat waktu itu hampir berakhir.
Perkembangan terbaru, Trump bahkan mengancam menambah tarif bea masuk sebesar 10% bagi negara-negara yang terafiliasi dengan BRICS.
“Semua negara yang merapat dengan kebijakan BRICS yang anti-Amerika akan dikenakan TAMBAHAN tarif 10%. Tidak ada pengecualian atas kebijakan ini,” cuit Trump di media sosial.
Dalam beberapa hari ke depan, investor akan terus memantau perkembangan isu ini. Setiap dinamika akan menjadi sentimen penggerak pasar.
“Kehati-hatian melanda pasar menunggu perkembangan beberapa hari ke depan. Saya memperkirakan akan ada volatilitas,” kata Nick Twidale, Kepala Analis AT Global Markets yang berbasis di Sydney (Australia), seperti dikutip dari Bloomberg News.
Dalam situasi seperti ini, investor biasanya akan cenderung bermain aman. Aset-aset berisiko, apalagi di negara berkembang, bukan menjadi pilihan utama. Akibatnya, mata uang Asia pun melemah, termasuk rupiah.
(aji)



























