“Ini juga menjadi rekomendasi perbaikan dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)," ujar Arief.
Arief menjelaskan data Penerima Bantuan Pangan (PBP) sejumlah 18.277.083 tersebar di 38 provinsi se-Indonesia. Database PBP bersumber dari Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang dimutakhirkan oleh Kementerian Sosial bersama Badan Pusat Statistik (BPS).
Menurutnya, jika pada saat penyaluran terdapat penggantian PBP, maka dapat dilakukan menggunakan data cadangan yang disediakan sebanyak 4.000.000 PBP.
"Dalam pelaksanaan penyaluran bantuan pangan beras, tentu Bapanas dan Bulog akan melibatkan pemerintah daerah, Polri, dan TNI. Ini karena setiap daerah punya kekhasan dan tantangan masing-masing. Namun pemerintah optimis mampu mengatasi semua itu secara kolaboratif," ucap Arief.
Arief menuturkan, program prorakyat ini merupakan program yang diusung Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Dengan memasifkan bantuan pangan beras ke masyarakat berpenghasilan rendah, diyakini dapat meredam inflasi dan mengungkit ekonomi.
Dia memaparkan dampak tersebut terlihat selama tahun 2023 dan 2024. Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), kala itu inflasi beras di September 2023 melaju hingga menyentuh 5,61%. Setelah ada penggelontoran bantuan pangan beras, di Desember 2023 melandai menjadi 0,48%.
Pada Februari 2024 inflasi beras berada di level 5,32% dan menjadi yang tertinggi di tahun tersebut. Program bantuan pangan beras kembali dilanjutkan hingga alokasi 9 bulan. Alhasil, inflasi beras di Desember 2024 berhasil meredam menjadi 0,1%.
Untuk 2025, inflasi beras di Juni 2025 dilaporkan BPS mulai meninggi. Sebelumnya di Januari 2025 hanya 0,36%, sementara di Juni 2025 bergerak naik menjadi 1%.
“Dengan begitu, penyaluran kembali bantuan pangan beras mulai Juli 2025 menjadi langkah tepat pemerintah dalam mengintervensi volatilitas perberasan nasional,” imbuhnya.
(mfd/del)

































