Jisman menuturkan penerima subsidi listrik pada 2026 masih akan mencakup sekitar 44,88 juta pelanggan, terutama pelanggan rumah tangga dengan daya 450 VA dan 900 VA. Subsidi juga akan diberikan kepada sektor bisnis kecil, industri kecil, dan fasilitas sosial.
Di sisi lain, konsumsi listrik nasional diperkirakan meningkat 11,6% dari sekitar 73,1 terawatt hour (TWh) pada 2025 menjadi 81 TWh pada 2026.
Namun, tantangan datang dari sisi biaya produksi. Jisman menyebutkan biaya bahan bakar pembangkit akan meningkat tajam, seiring dengan pelemahan kurs dan naiknya ICP. Biaya bahan bakar diperkirakan melonjak dari Rp92 triliun pada 2025 menjadi Rp228 triliun pada 2026, atau meningkat 18,9%.
Akibatnya, total biaya pokok penyediaan (BPP) listrik akan berada pada rentang Rp581,2 triliun hingga Rp610,1 triliun atau setara dengan Rp 1.828 hingga Rp 1.920 per kWh dengan target volume penjualan listrik pada 2026 mencapai 340 TWh.
Lebih lanjut, Jisman mengungkapkan Kementerian ESDM telah menyiapkan sejumlah strategi untuk pengendalian subsidi listrik. Pertama, efisiensi pembangkit listrik melalui pemeliharaan yang ketat agar konsumsi bahan bakar tidak boros.
Kedua, pengendalian harga gas untuk kelistrikan lewat kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar US$ 7 per MMBtu untuk kebutuhan PLN.
Ketiga, penerapan ceiling price pembelian listrik dari produsen swasta atau independent power producer (IPP) mengacu pada regulasi yang ada. Keempat, penyusunan roadmap pengurangan susut jaringan distribusi listrik untuk menekan kerugian teknis di lapangan.
Adapun, Kementerian ESDM juga tengah menyempurnakan sistem subsidi tepat sasaran melalui pemadanan data pelanggan listrik bersubsidi dengan data sosial ekonomi dari BPS. Langkah ini diklaim bisa menjaga beban fiskal di tengah lonjakan biaya energi yang tak terelakkan.
Sebelumnya Kementerian ESDM melaporkan subsidi listrik 2025 bakal bengkak Rp2,6 triliun menjadi Rp90,32 triliun dari pagu APBN 2025 yang dipatok sebesar Rp87,72 triliun.
Jisman menyebut hal itu dipicu oleh tiga hal yakni perkembangan ICP, kurs, dan inflasi.
“Kurs ini memang sangat menentukan yang selalu naik terus,” kata Jisman.
Jisman memaparkan realisasi subsidi listrik hingga Mei 2025 mencapai Rp34,59 triliun dengan ICP US$62,75/barel dan kurs sebesar Rp16.452/dolar.
Adapun, APBN 2025 menetapkan total subsidi listrik Rp87,72 triliun dan ICP US$82/barel dengan kurs Rp16.000/dolar. Namun, poyeksi subsidi listrik 2025 sebesar Rp90,32 triliun, dengan ICP yang digunakan sebesar US$71,1/barel dan kurs Rp16.352/dolar.
(mfd/wdh)





























