Kemarin, harga emas dunia naik 0,43% ke US$ 3.337,3/troy ons. Harga emas berhasil bangkit dari kejatuhan yang lumayan dalam. Pada Selasa (24/6/2026), harga ambruk 1,35% dan berada di posisi terendah sejak 6 Juni atau nyaris 3 pekan terakhir.
Sepertinya harga emas yang sudah ‘murah’ tersebut membuat investor mulai tertarik. Emas kembali atraktif, dan investor pun memasang mode bargain buying.
Ada sejumlah sentimen yang bisa mempengaruhi harga emas dalam waktu dekat. Pertama adalah dinamika Timur Tengah.
Bloomberg News mengungkapkan, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan pihaknya akan bertemu dengan Iran untuk membahas kesepakatan nuklir pekan depan. Namun pernyataan itu agak diragukan, karena kedua negara membutuhkan kesepakatan diplomatik setelah serangan AS ke fasilitas pengayaan uranium Iran akhir pekan lalu.
Perkembangan di Timur Tengah sangat mempengaruhi harga emas akhir-akhir ini. Saat situasi memanas, harga emas akan ikut ‘mendidih’. Sebaliknya, harga emas melemah saat kondisi mulai tenang.
Ini karena emas adalah aset yang dipandang aman (safe haven asset). Dalam lingkungan yang penuh guncangan, turbulensi, emas cenderung jadi pilihan pelaku pasar.
Sentimen kedua adalah arah kebijakan bank sentral AS Federal Reserve. Gubernur The Fed Jerome ‘Jay’ Powell dalam 2 hari ini memberikan paparan di hadapan House of Representatives dan Senat.
Powell menyatakan bank sentral masih butuh waktu untuk mengkaji dampak dari kebijakan tarif yang diterapkan Presiden Trump. Sejauh ini tekanan inflasi di Negeri Paman Sam masih landai, tetapi ancaman kenaikan harga barang dan jasa tetap ada.
Inflasi akan menentukan The Fed dalam perumusan suku bunga kebijakan alias Federal Funds Rate. Berdasarkan dot plot terkini, The Fed masih berpegang pada penurunan 2 kali sepanjang 2025.
Emas adalah aset yang tidak memberikan imbal hasil (non-yielding asset). Memegang emas akan lebih menguntungkan saat suku bunga bergerak turun.
(aji)

































