Logo Bloomberg Technoz

Dalam kaitan itu, Pemerintah Indonesia ingin agar Singapura merealisasikan investasi ekosistem panel surya, yang nilainya ditaksir menembus US$50 miliar. Terlebih, Indonesia memiliki bahan baku pasir silika untuk mendukung industri panel surya tersebut.

Ilustrasi panel surya terpasang. (Bloomberg)

“Singapura pikir kita bodoh saja. Dia tenderkan ke perusahaan-perusahaan kita. [...] Jadi sekarang, sektor industrinya [panel surya] harus kita buat di Indonesia. Policy sektor industri ini tidak bisa bersaing dengan China karena China itu kompetitif.  Hanya bisa bersaing kalau ambilnya dari offtaker,” ujarnya.

Pada 8 September 2023, Indonesia dan Singapura sebenarnya sudah menandatangani nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) untuk ekspor listrik bersih. Kesepakatan ini dipenggawai oleh Menteri ESDM periode 2019—2024 Arifin Tasrif.

Dari hasil kesepakatan itu, Indonesia sudah sepakat untuk melakukan pengiriman pertama yang semula dijadwalkan pada 2027 sebanyak 2 GW.

Satu tahun kemudian, Kemenko Marves yang waktu itu dipimpin Luhut pada Agustus 2024 memastikan rencana ekspor listrik rendah emisi melalui pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) ke Singapura pada akhir 2027 masih berjalan.

Asisten Deputi Industri Pendukung Infrastruktur Kemenko Marves Andi Yulianti Ramli saat itu mengatakan terdapat lima pengembang yang mendapatkan persetujuan bersyarat untuk ekspor listrik ke Singapura, dan tengah melakukan diskusi secara bisnis (business to business) dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Mereka a.l. konsorsium PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), EDP Renewables (EDPR), Keppel Infrastructure, dan Vanda.

Dia juga mengatakan kapasitas ekspor listrik ke Singapura pada tahun pertama adalah sebesar 2 GW, yang berpotensi meningkat pada tahun berikutnya.

Dalam kaitan itu, salah satu peran dari PLN adalah memberikan daftar manufaktur yang menyediakan bahan baku untuk digunakan oleh pengembang untuk membangun solar farm, yang pada akhirnya bisa digunakan untuk ekspor listrik bersih ke Singapura.

Yulianti menguraikan manufaktur yang menyuplai bahan baku tersebut harus memiliki tingkat komponen dalam negeri (TKDN) 60% untuk melakukan eksporn listrik pada akhir 2027, yang nantinya bakal diverifikasi oleh Lembaga Verifikasi Independen (LVI).

“Ini proyeknya nanti gol mungkin akhir 2027, kita akan [meminta] untuk masuk [ekspor listrik] mulai tahun segini [TKDN] sudah harus 60%. Kementerian Perindustrian sedang membuat peta jalan TKDN solar panel, supaya ekosistemnya terbangun di Indonesia,” ujarnya.

Pelabuhan di Singapura./Bloomberg-SeongJoon Cho

Terpisah, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves Rachmat Kaimuddin ketika itu menyebut nilai investasi yang digelontorkan untuk ekosistem solar panel, termasuk solar farm, berpotensi mencapai US$50 miliar.

“US$50 miliar, termasuk solar farm, kalau dari sisi pembangunan bisa sampai 2027 hingga 2028,” ujarnya.

Tertahan Era Bahlil

Kesepakatan ekspor listrik bersih ke Singapura sempat ditinjau ulang oleh Menteri ESDM era Bahlil Lahadalia. 

Bahlil kukuh tak ingin mengirim listrik bersih ke Singapura karena dinilai tidak menguntungkan kerja sama dua belah pihak.

“Oke, saya setuju juga. Akan tetapi, saya tanya, you kasih Indonesia apa? Jangan you minta aja, tetapi you enggak pernah kasih tahu apa yang mau dikasih ke kita,” tegas Bahlil, Februari tahun ini.

“Jadi jangan dibangun persepsi bahwa seolah-olah enggak kita dukung. Bukan tidak didukung. Kita gendong ini Singapura, kita gendong dia. Cuma pada saat kita gendong, kita juga perlu lihat gelagatnya untuk dia menggendong kita. Nah kalau begitu berarti enggak win-win dong. Mudah-mudahan hasil pertemuan saya kemarin sudah sama-sama insaf, untuk perbaikan kerja sama antara kedua negara.”

Bahlil saat itu mengaku tidak memedulikan desakan PLN untuk segera membuka ekspor listrik bersih ke Singapura, yang dinilai sebagai potensi bisnis yang menguntungkan bagi Indonesia.

Dia berkeras bahwa urusan membangun negara tidak sekadar menyangkut bisnis. Dengan kata lain, harus ada timbal balik yang diberikan Singapura kepada Indonesia jika ingin mendapatkan pasokan listrik bersih dari negara ini.

Dalam berbagai kesempatan, Bahlil acap kali tidak segan menutupi pendiriannya untuk menentang ekspor listrik ke Singapura.

Pada November tahun lalu, Bahlil juga menegaskan wacana ekspor listrik bersih ke Singapura tidak bisa dilakukan secara sembrono, jika Indonesia tidak mendapatkan manfaat investasi dari Negeri Singa.

Atas dasar itu, Kementerian ESDM belum akan memutuskan ihwal ekspor listrik bersih ke Singapura dalam waktu dekat. Menurutnya, konsep ekspor listrik tersebut juga masih dimatangkan oleh kementeriannya.

Masih pada tahun yang sama, pada September 2024, dia juga menyebut Kementerian ESDM menghendaki agar ekspor listrik EBT tetap sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia.

“Kalau di Republik [Indonesia] belum cukup atau belum paten, ya kenapa harus kita kirim ke luar? Jadi jangan kita ini jadi follower orang gitu loh. Kita harus jadi lokomotif Asean, bukan follower Asean gitu,” ujar Bahlil dalam agenda Green Initiative Conference 2024.

Resmi Kerja Sama

Pada pekan ini, dalam lawatannya bersama Presiden Prabowo Subianto ke Singapura, Bahlil sendiri mengakui proses negosiasi ekspor listrik hingga akhirnya RI-Singapura sepakat membutuhkan waktu yang panjang.

Ihwal kesepakatan itu, pada akhirnya Singapura berkomitmen untuk membangun kawasan industri berkelanjutan di Kepulauan Riau, tepatnya di kawasan Batam, Bintan dan Karimun (BBK).

Daftar 19 Kerja Sama RI-Singapura, Usai Prabowo Temui PM Wong (Bloomberg Technoz/Asfahan)

Di sisi lain, pemerintah Singapura meminta Indonesia untuk bisa menerima proyek tangkap-simpan karbon atau carbon capture storage (CCS).

“Inilah nilai tambah yang saya bilang itu win-win. Jangan hanya kita kirim ekspor listriknya, karena industrinya kalau kita enggak bangun kan enggak bisa,” kata Bahlil kepada awak media di Singapura, Senin (16/6/2025).

“Tujuannya adalah kita membangun hilirisasi dengan energi terbarukan.”

Potensi kerja sama kedua negara meliputi Zona Industri Berkelanjutan; Interkoneksi dan Perdagangan Listrik Lintas Batas, Teknologi Energi Terbarukan dan Rendah Karbon, serta Efisiensi dan Konservasi Energi; dan Kerja Sama dalam Penangkapan dan Penyimpanan Karbon Lintas Batas.

Adapun, nilai investasi proyek tersebut di luar pembangunan kawasan industri lebih dari US$10 miliar. Bahlil menegaskan kawasan industri di Riau nantinya akan dibangun seperti Malaysia dan Singapura.

“Kita bikin di situ supaya dekat dengan Singapura,” ucapnya.

Kapasitas ekspor listrik EBT lintas batas ke Singapura diperkirakan mencapai 3,4 gigawatt (GW). Untuk memenuhi permintaan tersebut, Kementerian ESDM memperkirakan akan membutuhkan 18,7 GW produksi panel surya dan 35,7 GWh produksi baterai.

Potensi investasi diestimasi mencapai US$30 miliar sampai dengan US$50 miliar untuk pembangkit panel surya dan US$2,7 miliar untuk manufaktur panel surya dan battery energy storage system (BESS).

Perdagangan listrik lintas batas ini juga diperkirakan dapat mendatangkan potensi penambahan devisa US$4 miliar - US$ 6 miliar per tahun dan penambahan penerimaan negara US$210 juta-US$600 juta per tahun, serta lapangan kerja baru 418.000 pekerja dari manufaktur, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan panel surya dan BESS.

(mfd/wdh)

No more pages