Logo Bloomberg Technoz

Negara-negara yang memiliki surplus perdagangan besar terhadap Amerika Serikat seperti China, Kanada, dan Meksiko, menjadi target utama tarif. Dalam fase ini, volatilitas pasar masih terkendali.

Namun, situasi berubah saat AS secara tiba-tiba mengumumkan kebijakan tarif baru yang disebut sebagai “Liberation Day Tariff”, bertepatan dengan masa libur pasar global. 

Indeks volatilitas (VIX) langsung melonjak ke atas 50, mendekati level-level krisis seperti pandemi COVID-19 dan krisis keuangan global. Ketika itu, pasar mendadak panik.

“Tetapi biasanya, kalau VIX sudah naik ke atas 50, artinya risiko masih ada tapi pasar cenderung kebal. Contohnya waktu COVID-19, pasar rebound selama satu setengah tahun,” jelas Helmy.

Salah satu indikator utama kekebalan pasar terhadap isu perang tarif adalah pergerakan yield US Treasury. Menurut Helmy, lonjakan yield akibat kekhawatiran irasional terhadap kebijakan fiskal dan perdagangan AS justru menjadi penanda bahwa sentimen negatif tarif telah ‘dihargai’ oleh pasar.

“Begitu US Treasury yield naik karena faktor tarif yang irasional, bukan karena fundamental ekonomi, justru terjadi pelepasan aset-aset AS oleh investor. Bahkan dolar sempat melemah, dan aset emerging market seperti Indonesia malah rebound,” ungkapnya.

Hal ini dibuktikan dengan pergerakan pasar global pasca pengumuman tarif pada Februari lalu. Meskipun sempat muncul kepanikan, dalam hitungan minggu terjadi deeskalasi secara bertahap antara AS dan China, termasuk lewat reset kebijakan perdagangan yang diumumkan pada 9 April dan 11 Mei.

Posisi Indonesia

Helmy menilai Indonesia berada di posisi yang cukup aman dari potensi tekanan perang tarif. Pasalnya, ekspor Indonesia ke AS tidak mencerminkan surplus yang besar dan didominasi oleh produk-produk unik seperti karet, alas kaki, dan hasil hutan tropis, komoditas yang tidak mudah tergantikan oleh negara lain.

“Produk ekspor kita ke AS bukan barang-barang strategis yang dilindungi secara ketat oleh mereka. Jadi harusnya kita tidak masuk target utama,” kata Helmy.

Donald Trump dan Xi Jinping. (Bloomberg)

Namun demikian, ia mengingatkan bahwa perhitungan tarif bisa saja tidak rasional, seperti yang terjadi belakangan, di mana Indonesia yang awalnya aman justru dikenakan tarif hingga 30%.

Di tengah kekebalan pasar terhadap perang tarif, Helmy menggarisbawahi risiko baru yang justru lebih perlu diwaspadai, yaitu lonjakan yield jangka panjang di AS dan potensi stagflasi.

Yield obligasi pemerintah AS tenor 20-30 tahun kini berada di level tertinggi sejak 1999, termasuk di Jepang, yang biasanya menjadi sumber pendanaan global.

“Yield naik bukan karena ekonomi tumbuh, tapi karena investor takut memegang US asset. Kalau ini terus terjadi, bisa memicu stagflasi, ekonomi lambat, inflasi tinggi. Ini yang susah diatasi,” jelasnya.

Stagflasi bisa mengubah ekspektasi terhadap kebijakan moneter global, termasuk potensi pemangkasan suku bunga oleh The Fed. Pasar yang semula memproyeksikan lima kali penurunan suku bunga tahun ini kini hanya mengharapkan dua kali.

Dari seluruh dinamika tersebut, Helmy menyimpulkan bahwa pasar saat ini telah lebih dewasa dan selektif dalam merespons isu. Sentimen perang tarif sudah tidak lagi menjadi faktor utama yang menekan pasar secara langsung.

Fokus kini bergeser pada kekhawatiran terhadap suku bunga jangka panjang dan kebijakan fiskal AS yang tidak menentu.

“Market sekarang lebih rasional. Kalau dengar kata ‘tarif’ orang sudah tidak langsung panik. Karena tahu, belum tentu terjadi. Kalau pun terjadi, efeknya tidak seperti dulu,” pungkas Helmy.

(dhf)

No more pages