Dalam kaitan itu, Eniya menyebut pemerintah sudah berkomunikasi sejak tiga pekan lalu bersama badan usaha terkait yaitu PT Sokoria Geothermal Indonesia, PT PLN, dan PT Daya Mas Geopatra Energi.
Menurut Eniya, isu negatif terkait proyek PLTP lebih masif tersiar di masyarakat dibandingkan manfaat panas bumi.
Potensi panas bumi di NTT padahal sangat besar untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat, dan lebih cocok menggantikan bahan bakar fosil dibandingkan pembangkit air dan solar.
"Mudah-mudahan Flores itu Insya Allah kita bisa jadikan geothermal island (pulau panas bumi). Jadi di situ panas buminya luar biasa, kalau bicara diesel, beban subsidi negara satu tahun hanya untuk Flores saja untuk substitusi BBM adalah Rp1 triliun," ujarnya.
Selain di Flores, dia mengatakan isu sosial yang menyoal PLTP juga muncul di Mataloko, NTT. Di wilayah tersebut masih ada manifestasi kolam lumpur yang belum ditutup dan membutuhkan biaya hingga US$ 5 juta.
"Kalau enggak ditutup, isunya juga makin besar. Ini kami masih berpikir nanti mohon disupport, nanti kami adakan FGD pembahasan sebelum kami dengan Pak Wamen [Yuliot] pergi ke NTT," jelas Eniya.
Dengan demikian, Eniya memastikan pemerintah memberikan solusi terbaik bagi masyarakat NTT terkait isu-isu sosial proyek PLTP. Dia pun berharap agar isu negatif mengenai sosial dan lingkungan bisa diredam.
"Isu-isu sosial ini harus kita netralisasi dengan isu positif, dan tentu saja edukasi-edukasi kepada masyarakat melalui Pemda itu bisa didorong juga oleh Asosiasi Panas Bumi, serta kerja sama kita dengan semua stakeholder," imbuhnya.
(mfd/wdh)































