Lebih dari 23 juta ons emas, senilai sekitar US$70 miliar, mengalir ke tempat penyimpanan bursa berjangka Comex di New York antara hari Pemilu dan 12 Maret. Arus masuknya yang begitu besar menyebabkan perdagangan AS defisit ke rekor pada Januari.
Lonjakan harga emas biasanya mengikuti tekanan ekonomi dan politik. Logam ini menembus angka US$1.000 per ons setelah krisis keuangan, dan melampaui US$2.000 selama pandemi Covid. Harga turun kembali ke US$1.600 setelah pandemi, tetapi mulai naik lagi pada 2023, terangkat oleh bank sentral, yang membeli emas batangan untuk diversifikasi dari dolar karena khawatir mata uang itu membuat mereka rentan terhadap sanksi dari AS.
Pada awal 2024, pasar kembali melonjak, terungkit oleh aksi beli di China, di mana kekhawatiran tentang ekonomi Negeri Tirai Bambu itu meningkat. Reli ini semakin menguat setelah Pemilu AS karena pasar menyerap kebijakan perdagangan agresif dari pemerintahan baru.
"Emas adalah aset yang mampu mempertahankan nilainya di bawah berbagai dislokasi ekonomi makro terbesar yang pernah kita lihat," kata Thomas Kertsos, co-portfolio manager di First Eagle Investment Management LLC. "Kami telah melihat selama berabad-abad emas—terlepas dari volatilitasnya—selalu berbalik arah dan mempertahankan daya belinya, sekaligus menyediakan likuiditas yang signifikan."
Reli emas baru-baru ini terjadi meski biasanya ada hambatan: suku bunga yang lebih tinggi dan dolar AS yang kuat. Saat obligasi atau uang tunai di bank memberikan imbal hasil yang solid, emas, yang tidak memberikan bunga, menjadi kurang menarik.
Dolar AS adalah mata uang utama yang digunakan untuk membeli dan menjual emas. Ketika harganya lebih mahal bagi pemegang mata uang lain, hal ini biasanya memberi tekanan jual pada logam tersebut.
Kali ini, kekuatan yang sama mendatangkan pembeli baru ke pasar. Saat yuan merosot terhadap dolar, investor China berbondong-bondong masuk. Inflasi yang terus tinggi di seluruh dunia juga meningkatkan daya tarik emas sebagai penyimpan nilai. Lalu, ada kekhawatiran investor akan kehilangan keuntungan terbaru dari kenaikan emas.
"Banyak investor merugi saat emas menembus US$2.400, US$2.500, US$2.600. Kami terus berkata: 'ini tidak akan bertahan lama, akan ada koreksi dan terkonsolidasi'," kata Philip Newman, pendiri konsultan Metals Focus. "Tidak ada yang berubah. Saya pikir ada perasaan, investor tidak ingin kehilangan US$3.000."
Namun, kebijakan baru perdagangan AS yang agresif dan tidak bisa diprediksi menjadi pendorong terpenting bagi emas pada 2025. Presiden Trump sudah memberlakukan tarif pada Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa, serta memasang bea masuk pada barang-barang China dan semua impor baja dan aluminium.
Setelah Uni Eropa membalas dengan tarifnya sendiri, AS memberi sinyal akan meningkatkan perang dagang yang sedang berlangsung.
Pemerintahan Trump mengancam gangguan yang lebih luas terhadap tatanan global. Presiden ini mengisyaratkan AS mungkin menggunakan paksaan ekonomi — atau bahkan kekerasan — untuk menguasai Greenland dan Terusan Panama; serta mengusulkan rencana rekonstruksi yang sangat kontroversial untuk Gaza.
Sejak Trump mengejutkan sekutu-sekutu Eropa pada Februari lalu dengan mengumumkan AS akan membuka negosiasi dengan Rusia terkait masa depan Ukraina, jaminan keamanan AS untuk Eropa dipertanyakan lantaran sudah mendukung perdamaian dan stabilitas selama beberapa dekade terakhir.
"Anda memiliki ketidakpastian besar yang muncul dari kebijakan AS yang juga baru saja membayangi ekonomi global tahun ini," kata Ian Samson, manajer portofolio multi-aset di Fidelity di Singapura.
Fondasi untuk reli emas sebagian ditentukan oleh kehati-hatian bank sentral global yang sangat bergantung pada dolar AS, juga merupakan cerminan dari ketidakpastian geopolitik.
Setelah Rusia menginvasi Ukraina pada 2022, banyak aset dolar Rusia yang disimpan di luar negeri dibekukan. Bank-bank sentral menyebut: dolar bisa digunakan sebagai senjata, di mana akses mereka ke sistem keuangan ditutup atas perintah AS. Sejak invasi, pembelian emas oleh bank sentral meningkat dua kali lipat, dari sekitar 500 metrik ton per tahun menjadi lebih dari 1.000 metrik ton.
China, yang dianggap oleh pemerintah AS sebagai saingan geopolitik, secara signifikan meningkatkan pembeliannya pada 2022. Saat pembeliannya melambat karena harga melonjak, bank-bank sentral lain mengambil alih. Menurut World Gold Council, Polandia, India, dan Turki menduduki peringkat teratas sebagai pembeli terbesar tahun lalu.
Terlepas dari relinya, emas masih jauh dari puncaknya yang disesuaikan dengan inflasi sepanjang masa, yang ditetapkan pada 1980 dan setara dengan sekitar US$3.800 per ons. Saat itu, kombinasi dari pertumbuhan ekonomi yang lemah, inflasi yang tinggi, dan friksi geopolitik yang meningkat membuat harga melambung tinggi. Beberapa analis percaya kekuatan serupa akan membawa emas bergerak lebih jauh pada tahun 2025.
Reli menuju US$3.000 terjadi lebih cepat daripada yang diprediksi oleh sebagian besar analis. Selama tahun lalu, saat harga melewati level psikologis utama US$2.000 dan US$2.500, sebagian besar analis meningkatkan perkiraan mereka, alih-alih mengubah pandangan mereka. Beberapa analis sudah melihat tanda utama selanjutnya.
"Agar mencapai US$3.500/oz, permintaan investasi harus naik 10%," kata analis Bank of America yang dipimpin oleh Michael Widmer dalam catatan 12 Februari. "Itu banyak, tetapi bukan tidak mungkin."
(bbn)




























