Saat ini, penjualan LPG subsidi juga dilakukan oleh PT PPN, yang menguasai lebih dari 80% pasokan LPG dalam negeri dan LPG impor. PT PPN juga menjual LPG yang tidak bersubsidi dengan merek dagang BrightGas.
Entitas usaha PT Pertamina (Persero) tersebut, lanjut Taufik, juga melakukan penjualan gas secara bulk (grosir) kepada perusahaan lain, yakni BlueGas dan PrimeGas, yang merupakan produsen tabung LPG nonsubsidi.
"Dalam penjualan 2024, KPPU menemukan adanya keuntungan yang tinggi atau super normal profit dari penjualan LPG Non Subsidi sebesar 10 kali lipat dibandingkan laba penjualan LPG Subsidi, atau sekitar Rp1,5 triliun," kata dia.
KPPU pun menduga perilaku eksklusif dan eksploitatif PT PPN melalui penjualan LPG dengan harga yang lebih tinggi kepada konsumen downstream yang juga merupakan pesaing langsung PT PPN di pasar LPG nonsubsidi.
Hal tersebut, kata Taufik, diduga telah melanggar Pasal 17 dalam Undang-undang No.5/1999 tentang praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
"Akibat perilakunya, harga LPG nonsubsidi menjadi sangat tinggi, membuat konsumen enggan menggunakan LPG Non Subsidi dan beralih pada LPG Subsidi," tutur dia.
"Ini berdampak pada terbebannya anggaran negara, meningkatnya subsidi LPG yang tidak tepat sasaran, dan meningkatkan jumlah impor LPG."
(dhf)
































