Salah satu aspek penting dalam kajian ini adalah menentukan aset kripto mana yang layak dimasukkan dalam ETF. OJK menegaskan bahwa seleksi akan didasarkan pada prinsip pengelolaan risiko, bukan hanya sekadar popularitas aset tersebut.
"Sebetulnya intinya ETF-nya dulu dengan basis atau underlying yang tidak hanya sekedar instrumen efek gitu ya tapi dalam hal ini kripto. Nah kalau secara kaidah termasuk dalam kajian itu adalah pengelolaan risikonya," kata Hasan.
"Nah yang terkait dengan pengelolaan risiko tentu adalah menentukan kira-kira koin mana yang katakanlah cukup aman dan tidak menimbulkan dampak risiko yang tinggi jika seandainya kemudian diizinkan untuk menjadi bagian dari ETF," sambungnya.
OJK juga membuka kemungkinan untuk menguji kebijakan ini dalam sandbox regulasi sebelum nantinya diterapkan secara luas.
Sementara itu, mengenai target penyelesaian kajian ini, Hasan menyatakan bahwa aturan terkait belum masuk dalam Program Legislasi (Proleg) tahun ini. Namun, kajian diharapkan rampung pada pertengahan kuartal ketiga tahun ini.
Sebelumnya, Hasan menyatakan dalam perumusan kebijakan ini, OJK akan melibatkan ekosistem kripto, dan juga melibatkan kajian dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk membandingkan pengaturan sejenis di regional dan global.
OJK berharap dengan adanya payung pengaturan untuk membuka kesempatan penawaran coin-coin atau aset kripto baru di Indonesia, maka semakin banyak aset kripto yang memiliki underlying nyata. Misalnya tokenisasi dari Real World Asset (RWA) atau Real World Project (RWP).
Di samping itu, proyek tokenisasi ini diharapkan memiliki nilai atau memiliki kegunaan dan manfaat yang baik. Pada akhirnya diharapkan akan terus berkontribusi mendukung peningkatan aktivitas keuangan digital dan mendorong pertumbuhan perekonomian nasional.
(lav)

































