“Kembali lagi, dari yang berlaku saat ini, penjualan berdasarkan kontrak bisnis dengan buyer. Kalau tidak kompetitif, otomatis akan berdampak pada penjualan. Kita perlu memahami mekanisme HBA yang dimaksud menteri agar bisa digunakan untuk transaksi.”
HBA yang selama ini diatur pemerintah, terang Gita, tidak digunakan untuk penjualan yang bersifat business to business (b2b). Adanya kewajiban penggunaan HBA dalam transaksi ekspor disebut justru akan mengintervensi kegiatan bisnis, yang seharusnya tidak menjadi ranah pemerintah.
Bagaimanapun, Gita tetap mengapresiasi pandangan Bahlil dalam meletakkan batu bara sebagai komoditas penting, terlebih melalui upaya pengendalian produksi.
“Namun, akan perlu effort untuk meyakinkan pembeli [di luar negeri] dalam aplikasi HBA sebagai referensi dan pastinya akan membutuhkan waktu,” tegasnya.
Bahlil belum lama ini mengumumkan rencana untuk mewajibkan penggunaan HBA dalam kegiatan ekspor, agar komoditas tersebut tidak dibanderol lebih murah dibandingkan dengan harga global.
“Saya minta kepada Dirjen [Minerba] untuk menghitung betul HBA kita dibandingkan dengan ICI [Indonesian Coal Index]. ICI lebih rendah dari HBA. Saya minta, tidak waktu lama lagi, kami akan mempertimbangkan untuk membuat keputusan menteri agar HBA dipakai untuk transaksi di pasar global,” tegas Bahlil dalam konferensi pers kinerja Kementerian ESDM periode 2024, Senin (3/2/2025).
“Kalau ada perusahaan yang tidak memenuhi itu, maka kami punya cara agar mereka bisa ikut. Bila perlu, kalau mereka tidak mau, kita tidak usah [terbitkan] izinkan ekspornya.”
Bahlil mengaku kesal lantaran harga batu bara Indonesia kerap kali dibanderol lebih murah dari harga dunia, padahal Indonesia mendominasi batu bara yang beredar di pasar global.
Menurut klaim Bahlil, total konsumsi batu bara dunia mencapai sekitar 8 miliar ton, di mana Indonesia menyumbang sekitar 30%—35% dari total batu bara yang diperdagangkan di dunia.
Dia menegaskan, batu bara Indonesia memiliki dampak sistemis, masif, dan terstruktur terhadap pasar energi global jika Indonesia sewaktu-waktu melakukan pengetatan ekspor.
“Masak harga batu bara di negeri kita dibuat lebih murah? Masak harga batu bara kita ditentukan oleh negara tetangga? Negara kita harus berdaulat untuk menentukan harga komoditas sendiri,” tutur Bahlil.
Kementerian ESDM mencatat total produksi batu bara Indonesia sepanjang 2024 mencapai 836 juta ton, setara 117% atau melampaui target yang dicanangkan sebesar 710 juta ton.
Dari total tersebut, sebanyak 233 juta ton dinantaranya ditujukan untuk kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO), yang juga melebihi target DMO sebesar 220 juta ton.
Di sisi lain, ekspor batu bara tercatat mencapai 555 juta ton, yang juga meningkat dibandingkan dengan realisasi 2023 sebesar 518 juta ton. Sementara itu, 48 juta ton di antaranya menjadi stok domestik.
Untuk 2025, Kementerian ESDM menetapkan target produksi batu bara sebanyak 735 juta ton. Harga batu bara sepanjang 2024 padahal tercatat anjlok hingga mencapai 14,45% berdasarkan harga acuan di pasar ICE Newcastle pengujung tahun lalu.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)





























