Sekadar catatan, pada 14 Januari 2021 Indonesia digugat oleh Uni Eropa (UE) lantaran melarang ekspor bijih nikel. Pada 17 Oktober 2022, WTO menyatakan pelarangan ekspor tersebut terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan atau General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994.
Sejalan dengan itu, Indonesia dan Uni Eropa (UE) juga berupaya untuk mencari amicable solution.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia berhasil membuktikan diskriminasi oleh Uni Eropa (UE) dalam sengketa dagang kelapa sawit di WTO. Hal ini tertuang dalam Laporan Hasil Putusan Panel WTO yang disirkulasikan pada 10 Januari 2025.
Secara umum, Panel WTO menyatakan, Uni Eropa melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap biofuel berbahan baku kelapa sawit dari Indonesia dibandingkan dengan produk serupa yang berasal dari Uni Eropa seperti rapeseed dan bunga matahari. Uni Eropa juga membedakan perlakuan dan memberikan keuntungan lebih kepada produk sejenis yang diimpor dari negara lain seperti kedelai.
Selain itu, Panel WTO menilai UE gagal meninjau data yang digunakan untuk menentukan biofuel dengan kategori alih fungsi lahan kelapa sawit berisiko tinggi (high ILUC-risk) serta ada kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi low ILUC-risk dalam Renewable Energy Directive (RED) II. Oleh karena itu, UE diwajibkan untuk menyesuaikan kebijakan di dalam Delegated Regulation yang dipandang Panel melanggar aturan WTO.
(mfd/frg)




























