Logo Bloomberg Technoz

“Kekacauan pasar dan sektor perbankan akan menjadi argumen kuat bagi kenaikan 25 bps. Setidaknya, [SVB] menjadi pengingat bagi pemangku kebijakan yang telah menerapkan pengetatan moneter setahun terakhir dan belum semua dampak dari langkah itu terlihat. Jadi, itu menjadi alasan kuat untuk [The Fed] melangkah hati-hati,” komentar Stephen Stanley, Chief Economist di Santander AS Capital Market, seperti dikutip Bloomberg News, Sabtu (11/3/2023).

Inflasi masih jauh dari jinak

Data ketenagakerjaan merupakan salah satu data penting yang diperhitungkan oleh The Fed dalam meramu arah kebijakan moneter ke depan. Dalam hal ini, pertumbuhan payroll yang masih terus melampaui ekspektasi menunjukkan perekonomian di Amerika masih "panas". 

Data ketenagakerjaan AS pada Februari mencatat penambahan tenaga kerja (Non Farm Payrolls) melebihi ekspektasi pasar, menyiratkan inflasi masih tinggi

Pada Januari, inflasi tahunan AS masih di level 6,4% dan inflasi inti berada di posisi 5,6%. Bank sentral AS menargetkan bisa menggiring turun inflasi ke kisaran 2%.

Pernyataan terakhir Chairman The Fed Jerome Powell di hadapan kongres beberapa waktu lalu telah membuat pasar blingsatan menghadapi kemungkinan bank sentral akan kembali menaikkan bunga acuan. 

Bila sebelumnya terminal rate Fed Fund Rate diprediksi berakhir di level 5,5%, maka kini pasar futures menaikkan menjadi 5,75%. Bahkan, beberapa pengelola dana kelas raksasa seperti BlackRock dan Schroder sudah bersiap-siap manakala bunga acuan terbang ke 6%.

Sebagai gambaran, The Fed menargetkan inflasi AS bisa dijangkar ke level 2%. Sampai dengan Januari 2023, tingkat inflasi AS masih di kisaran 6,4%, sedangkan inflasi inti ada di 5,6%. Secara teori, bunga acuan seharusnya di atas inflasi inti.

Saat ini, bunga The Fed ada di posisi 4,75%. Jika terminal rate benar-benar menyentuh 5,75%, maka akan ada kenaikan 100 bps lagi.

Dampak pengetatan moneter

Namun, kebijakan uang ketat melalui kenaikan bunga acuan yang agresif berarti kabar buruk bagi saham dan obligasi. Bunga yang terus tinggi bisa melukai pertumbuhan ekonomi dan mengerosi pendapatan korporasi.

Bunga tinggi juga menekan harga obligasi dan melambungkan imbal hasil (yield) membuat para emiten surat utang menelan kerugian akibat penurunan harga dan membayar lebih mahal kala membutuhkan pinjaman. 

Inflasi di negeri Paman Sam diperkirakan masih tinggi menyusul data terakhir ketenagakerjaan AS (Bloomberg)

Apa yang terjadi dengan SVB  adalah sisi lain pengetatan moneter The Fed setahun terakhir. Kenaikan bunga yang simultan membuat bank dengan eksposur besar di obligasi, menelan kerugian buntut penurunan harga.

Ketika para nasabah banyak yang menarik dana, bank-bank ini mencairkan investasinya di obligasi dan karena bunga acuan tinggi, mereka terpaksa melego obligasinya di harga rendah (cutloss) agar bisa tetap membayar deposan. 

Catatan Bloomberg, SVB menderita kerugian besar atas kepemilikan obligasi jangka panjang yang selama ini tidak terlihat berkat aturan akuntansi. Nilai kerugian mark-to-market mencapai lebih dari US$ 15 miliar pada akhir 2022 untuk obligasi yang dipegang hingga jatuh tempo, hampir setara dengan permodalan dasarnya sebesar US$ 16,2 miliar. 

Kejatuhan SVB ini menyusul langkah likuidasi sukarela Silvergate Capital Corp, bank yang fokus pada aset digital. Kejatuhan dua bank dalam jeda pendek memicu ketakutan pasar terkait risiko sistemik. Alhasil, indeks saham perbankan (indeks Bank KBW) di Wall Street ikut terseret dengan penurunan terbesar dalam tiga tahun terakhir. 

Arus modal keluar capai Rp 2,67 triliun

Pernyataan hawkish Powell pada Selasa pekan lalu berimbas signifikan terhadap pasar finansial Indonesia. Otoritas moneter yang bermarkas di MH Thamrin itu mencatat, berdasarkan data transaksi 6—9 Maret, investor asing telah mencatat jual neto sebesar Rp 2,67 triliun di pasar keuangan dalam negeri. Terdiri atas, jual neto Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 3,03 triliun dalam 4 hari perdagangan dan mencetak net buy di pasar saham sebesar Rp 360 miliar. 

Nilai tukar rupiah tertekan hingga ditutup di level Rp 15.468 per dolar AS pada Jumat (10/3/2023), mengacu JISDOR BI, level terendah dalam 2 bulan terakhir. Tingkat imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun berada di 6,95% dan premi Credit Default Swap (CDS) 5 tahun juga naik ke 93,26 bps pada 9 Maret dari 84,64 bps pada 3 Maret lalu. 

Beberapa bank sentral di dunia akan mengumumkan tingkat bunga acuan terbaru pekan ini (Bloomberg)

“BI terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung pemulihan ekonomi lebih lanjut,” tulis Fajar Majardi, Direktur Departemen Komunikasi BI dalam pernyataan tertulis, Jumat sore. 

Pada pekan ini, 15—16 Maret, RDG BI akan digelar dan pasar menanti akankah BI berbalik arah menyesuaikan bunga agar selisih yield dengan AS tetap terjaga dus stabilitas nilai tukar terbantu, menyusul ekspektasi bunga acuan The Fed yang lebih agresif dari prediksi sebelumnya.

Atau, BI tetap berkukuh mempertahankan bunga acuan dengan bekal inflasi inti yang melandai lebih cepat di kisaran 3,09% Februari lalu dan membantu momentum pemulihan ekonomi domestik pasca pandemi. 

Gubernur BI Perry Warjiyo dalam acara Indonesian Invesment Forum in Dubai (IIFD)  2023, membeberkan beberapa alasan penting mengapa investor asing harus berinvestasi di Indonesia ketimbang di negara lain. Alasan utama adalah kinerja ekonomi Indonesia menjadi yang terbaik pasca pandemi, didukung oleh kuatnya kebijakan ekonomi nasional dengan kepemimpinan yang kuat.

Selain itu, “BI juga mendukung investasi dengan kebijakan di mana terdapat bauran kebijakan yang pro stabilitas dan pro pertumbuhan untuk mendukung iklim investasi yang baik,” jelas Perry seperti dilansir dari siaran pers, Kamis (9/3/2023).

Ekonom Bloomberg Economics menilai, kejatuhan SVB belum bisa dibaca sebagai buntut dari kebijakan uang ketat bank sentral. “Bila data inflasi Februari melampaui ekspektasi pada 14 Maret, kami kira keruntuhan SVB tidak akan mencegah The Fed untuk menaikkan bunga 50 bps pada FOMC 21—22 Maret,” ujar Stuart Paul dari Bloomberg Economics seperti dikutip Bloomberg News.

Putera Satria Sambijantoro, Kepala Ekonom Bahana Sekuritas, berpandangan, BI perlu melakukan penyesuaian bunga acuan menyusul perkembangan terakhir perekonomian AS yang terus menyempitkan yield SBN dengan US Treasury dan melemahkan nilai tukar.

Ditakutkan, arus modal keluar akan terus berlangsung dan melukai perekonomian. Prediksinya, asumsi nilai penjualan asing di pasar obligasi bisa mencapai Rp 20 triliun—Rp 30 triliun dan akhirnya akan menekan nilai tukar rupiah semakin dalam. Konsensus Bloomberg hingga artikel ini ditulis masih memperkirakan BI akan menahan bunga acuan lagi di level 5,75%.

(rui/wdh)

No more pages