Logo Bloomberg Technoz

"SK-nya sudah terbit dari pak [Sekjen Kementerian ESDM] Dadan [Kusdiana] atas nama Menteri [ESDM Arifin Tasrif]. Mulai Kamis mudah-mudahan pembahasannya dalam tiga kali cukup dan lalu disampaikan ke DPR, kemudian nanti dibahas. Mudah-mudahan kitabisa mengejar untuk rampung di DPR periode ini," kata Djoko.

Dalam beleid itu, nantinya, sumber energi yang berasal dari nuklir dipastikan akan sejajar dengan energi ramah lingkungan lain, seperti amonia, hidrogen, hingga panas bumi.

"Jadi semua energi itu setara, artinya kita berikan kesempatan yang sama untuk bisa dikembangkan."

Sekadar catatan, Kementerian ESDM dan DEN memang tengah menggodok revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), sejalan dengan target pencapaian emisi nol bersih atau net zero emission (NZE) pada 2060.

Salah satu poin dalam revisi beleid tersebut adalah memajukan target operasional pembangkit listrik menjadi 2032 dari sebelumnya 2039, dalam kerangka peta jalan NZE. 

Ilustrasi pembangkit nuklir (Bloomberg)


Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan revisi beleid tersebut diharapkan bakal mengakomodasi berbagai keperluan pemerintah untuk mencapai target nol emisi karbon.

"Revisi KEN untuk menjawab dan menyusun langkah apa yang diperlukan, sehingga target NZE bisa kita lakukan bersama dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip bahwa [revisi KEN] tidak mengganggu pembangunan yang sekarang sedang berjalan," ujar Dadan.

Ambisi pemerintah mengembangkan pertambangan nuklir di dalam negeri sebelumnya juga kian dipertegas setelah Presiden Joko Widodo baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 25/2023 tentang Wilayah Pertambangan.

Regulasi yang ditetapkan pada 5 Mei 2023 itu salah satunya mencakup mengenai pengaturan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) mineral radioaktif, yang notabene bahan baku pembuatan sumber energi nuklir.

Menurut Pasal 20 ayat (2) aturan tersebut, Presiden menetapkan bahwa WIUP terdiri atas WIUP mineral radioaktif, WIUP mineral logam, WIUP batu bara; WIUP mineral bukan logam, WIUP mineral bukan logam jenis tertentu, dan WIUP batuan.

Adapun, Pasal 21 ayat (1)  menyebut luas dan batas WIUP mineral radioaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 (2) huruf a ditetapkan oleh menteri berdasarkan usulan dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenaganukliran.

Sementara itu, penentuan apakah suatu WIUP tergolong mineral radioaktif atau tidak juga ditentukan oleh intsnasi pemerintah di bidang ketenaganukliran, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) PP tersebut.

Menjelaskan peraturan baru itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan WIUP mineral radioaktif harus diatur secara jelas lantaran Indonesia memiliki sumber daya nuklir yang cukup prospektif.

“Sumber [radioaktif] ada di beberapa sumber [mineral] lain, seperti tambang timah. Makanya, harus kita amankan karena kita perlu energi dari radioaktif ini untuk kepentingan energi ke depan. Jadi harus kita amankan, kalau enggak, habis semua nanti. Kita malah impor barang jadi karena [sumber mineral radioaktif] lolos keluar [diekspor] sebagai pasir,” ujarnya saat ditemui awak media, akhir Mei.

Tahun lalu, Jokowi juga menerbitkan PP No. 52/2022 tentang Keselamatan dan Keamanan Pertambangaan Bahan Galian Nuklir sebagai persiapan payung hukum Indonesia untuk memiliki PLTN sendiri.

Sekadar catatan, satu PLTN dengan kapasitas 1.000 MW ditaksir membutuhkan 21 ton uranium untuk produksi listrik 1,5 tahun.

Menurut Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), per 2019, sumber daya uranium di Indonesia mencapai 81.090 ton dan sumber daya thorium sebanyak 140.411 ton yang berada di wilayah Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi.

Di Kalimantan, sumber daya uranium tercatat sebanyak 45.731 ton dan thorium 7.028 ton. Di Sumatra, uranium sebanyak 31.567 ton dan thorium 126.821 ton. Di Sulawesi, uranium sejumlah 3.793 ton dan thorium 6.562 ton.

(ibn/wdh)

No more pages