Logo Bloomberg Technoz

Bahkan The Fed membuka kemungkinan untuk menaikkan suku bunga acuan 50 bps dalam rapat bulan depan. Hal itu dikemukakan oleh dua pejabat teras, yakni Presiden The Fed Cleveland Loretta Mester dan Presiden The Fed St Louis James Bullard.

Di Asia, Bank Sentral Korea Selatan (BoK) bulan lalu menaikkan suku bunga acuan 25 bps. Langkah serupa ditempuh Bank Sentral India (RBI) belum lama ini.

DI tengah era suku bunga tinggi, investor tentu mengharapkan imbal hasil semaksimal mungkin. Kalau ada tempat yang menawarkan imbalan lebih tinggi, maka sangat mungkin arus modal akan mengalir ke sana.

Saat BI menahan suku bunga, maka ada risiko pengalihan dana ke negara dengan suku bunga yang lebih tinggi. Mungkin inilah yang terjadi hari ini, berkurangnya arus modal asing membuat IHSG dan rupiah menghuni zona merah.

Kinerja rupiah memang agak mengendur belakangan ini. Sempat berada di bawah Rp 15.000/US$, rupiah cenderung melemah saat memasuki Februari.

Sumber: Bloomberg

Di pasar obligasi, investor terlihat mulai menahan diri. Dalam lelang Surat Utang Negara (SUN) 14 Februari, pemerintah mematok target indikatif Rp 23 triliun yang bisa naik sampai Rp 34,5 triliun. 

Realisasinya, pemerintah hanya memenangkan Rp 20 triliun. Penawaran yang masuk tercatat Rp 55,98 triliun, turun dibandingkan lelang sebelumnya yang Rp 67,08 triliun. Arus modal di pasar obligasi yang berkurang ini membuat rupiah sulit menguat.

Dengan tren kenaikan suku bunga yang masih terjadi di Negeri Paman Sam, maka selisih (spread) imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia dalam denominasi valas dengan obligasi pemerintah AS semakin kecil. Ini kian meyakinkan investor untuk meninggalkan Indonesia karena keuntungan yang didapat bakal menipis.

Sumber: Bloomberg

Akan tetapi, faktor eksternal juga menentukan. Kebetulan hari ini sentimen dari luar cenderung negatif.

Dini hari tadi waktu Indonesia, bursa saham AS ditutup terkoreksi cukup tajam. Indeks S&P 500 ditutup anjlok 1,4%. Ini menjadi koreksi harian terdalam sejak 18 Januari.

Sementara Nasdaq 100 ditutup jatuh 1,9%, koreksi harian terdalam sejak 30 Januari. Kemudian Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 1,3%, koreksi harian terdalam sejak 18 Januari.

Merahnya Wall Street menular hingga ke Asia. IHSG dan rupiah tidak sendiri, indeks saham dan mata uang lain di negara-negara tetangga pun melemah.

Pada pukul 11:35 WIB, indeks Hang Seng (Hong Kong) melemah 0,58%. Kemudian KLCI (Malaysia), Kospi (Korea Selatan), dan Shanghai Composite (China) terkoreksi masing-masing 0,53%, 0,75%, dan 0,16%.

Di pasar valas, mata uang Asia juga cenderung melemah terhadap dolar AS. Yuan China, rupee India, yen Jepang, won Korea Selatan, ringgit Malaysia, sampai dolar Singapura terdepresiasi 0,27%, 0,08%, 0,89%, 0,57%, dan 0,32%.

Oleh karena itu, koreksi di pasar keuangan Tanah Air hari ini tidak melulu karena BI tidak menaikkan suku bunga. Kebetulan pasar memang sedang goyah karena tertular koreksi di Wall Street.

Faisal Rachman, Ekonom Bank Mandiri, menilai langkah BI menahan suku bunga sudah tepat. Sebab fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat.

“Neraca perdagangan Indonesia tetap surplus pada Januari 2023 meski ada risiko perlambatan ekonomi global. Arus modal asing masih membukukan net inflow Rp 47,7 triliun year-to-date hingga 15 Februari. Rupiah masih menguat 2,3% secara year-to-date,” papar Faisal dalam risetnya.

Faisal bahkan memperkirakan BI punya ruang untuk tetap menahan suku bunga acuan 5,75% sepanjang tahun ini. “Namun BI akan tetap waspada terhadap perkembangan ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian,” sebutnya.

(aji)

No more pages