Logo Bloomberg Technoz

Sebagian besar yang masuk dalam kategori itu adalah bahan-bahan penting untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk mengurangi emisi karbon guna mengatasi perubahan iklim. Beberapa juga digunakan dalam pembuatan semikonduktor alat komunikasi, baik untuk keperluan sipil maupun militer. Mineral yang dianggap kritis itu di antaranya:

  • Litium, grafit, kobalt, nikel, dan mangan — terutama digunakan dalam baterai EV
  • Silikon dan timah — untuk EV, smart grid, power meter, dan elektronik lainnya
  • Tanah jarang (rare earths) — magnet turbin angin, EV
  • Tembaga - kisi-kisi (grid), turbin angin, EV
  • Gallium dan germanium — panel surya, EV, stasiun pangkalan nirkabel, radar pertahanan, sistem pembidik senjata, laser

2. Mengapa mendapatkan mineral kritis itu jadi tantangan?

Meski mineral kritis banyak ditemukan dalam wujud mentah di berbagai sisi dunia, mengekstraksi dan memurnikannya untuk dapat digunakan adalah perkara yang berbeda, selain mahal, sulit secara teknis, perlu energi intensif, dan menimbulkan polusi.

Sampai saat ini, China mendominasi banyak komoditas  tersebut. Mereka menguasai lebih dari separuh produksi logam baterai dunia termasuk litium, kobalt, dan mangan, bahkan 100% logam tanah jarang diproduksi di negara ini. 

Untuk logam yang tidak terlalu jarang seperti tembaga, pertumbuhan permintaan yang besar untuk komoditas ini telah memicu perkiraan bahwa pasokan yang ada kemungkinan tidak cukup.

Kekhawatiran ini membuat Eropa pada 2023 mengkategorikan tembaga dan nikel sebagai bahan baku kritis untuk pertama kalinya. Ini dilakukan meski banyak negara produsen yang bersahabat dan tidak memproteksi industrinya.

Senat AS juga tengah melobi pemerintah untuk melakukan hal yang sama pada tembaga. 

Bahan mentah yang dipasok oleh China (Sumber: Bloomberg)

3. Mengapa negara-negara barat enggan bergantung pada China?

Ketergantungan suplai yang berlebihan terhadap satu negara adalah sesuatu yang selalu coba dihindari oleh para produsen. Ini karena ada risiko suplai terganggu jika negara pemasok mengalami gangguan krisis listrik, pandemi, atau kerusuhan. 

AS juga mempertimbangkan hubungannya yang memanas dengan China. Ada resiko ketegangan antar kedua negara tersebut berisiko menjadi perang dagang habis-habisan yang melibatkan sanksi atau pembatasan ekspor.

Berikut beberapa preseden yang pernah terjadi:

Pada Juli, China mengatakan akan memberlakukan pembatasan ekspor galium dan germanium, sebuah langkah yang kemungkinan akan menaikkan biaya produksi pabrikan perangkat keras.

Pusat industri dan jaringan logistik China sempat terhenti pada awal pandemi Covid-19. Akibatnya pasokan global pada banyak komoditas industri menjadi terganggu dan harganya melonjak.

Pada 2021, ketika keterbatasan listrik yang terjadi di China lantas berdampak pada produksi silikon dan membuat harga metaloid loncat 300% dalam waktu kurang dari dua bulan pada tahun tersebut. Hal ini menyebabkan gejolak beberapa sektor, termasuk industri mobil dan bahan kimia.

Pada 2010, China memblokir penjualan mineral tanah jarang ke Jepang menyusul sengketa kepemilikan sekelompok pulau di Laut China Timur. Langkah tersebut mengguncang sektor elektronik Jepang.

4. Bagaimana China bisa sangat dominan?

Ini karena prosesnya sudah dimulai sejak beberapa dekade lalu. Pada awal 1992, mantan pemimpin negara itu, Deng Xiaoping menyoroti potensi negaranya untuk memimpin dunia di komoditas mineral kritis. Ia mengatakan: “Timur Tengah memiliki minyak. China memiliki tanah jarang.”

Seiring percepatan pertumbuhan ekonominya, permintaan domestik untuk komoditas industri dalam negeri China mulai jauh melampaui cadangannya.

China lantas berinvestasi besar dalam aset pertambangan di luar negeri dan secara bertahap mendominasi upaya pemurnian dan pemrosesan hampir untuk setiap komoditas industri. Tak ketinggalan, sejumlah produk sampingannya juga perlahan dikuasai, seperti telurium, galium, dan germanium.

Saat ini, China adalah produsen utama dari 20 bahan mentah kritis, diukur dari kontribusi mereka dalam produksi barang tambang atau penyulingan global. Menurut analisa Uni Eropa, dalam hal mineral tanah jarang, China memegang 84% pasokan komoditas tambang dan 100% yang olahan.

Sebenarnya China ini hanya menambang sejumlah kecil kobalt dan nikel, tetapi sejauh ini mereka adalah produsen logam olahan terbesar. Perusahaan asal China telah banyak berinvestasi di tambang kobalt dan nikel di negara-negara seperti Kongo dan Indonesia. 

5. Apa yang dilakukan para kompetitor China soal ini?

AS pada 2022 mengesahkan Undang-Undang (UU) Pengurangan Inflasi (IRA) yang dipelopori Presiden AS Joe Biden untuk membantu negara tersebut memenuhi ambisi iklim bersihnya melalui investasi bidang energi terbarukan dan EV, menekan biaya bahan mentah yang dibutuhkan untuk transisi, serta mengurangi ketergantungan pada pemasok luar negeri yang tidak dapat diandalkan, atau bermusuhan dengan mereka.

Eropa juga memiliki UU serupa, yaitu UU Bahan Baku Kritis Uni Eropa yang diluncurkan pada bulan Maret untuk memudahkan pembiayaan dan perizinan proyek penambangan dan pemurnian baru serta mengurangi ketergantungan mereka terhadap China. 

Washington sedang menggodok pakta perdagangan ad hoc untuk meningkatkan produksi mineral kritis dalam negeri. AS dan Eropa juga ingin membentuk semacam “klub pembeli" untuk mencapai kesepakatan pasokan dan kemitraan investasi dengan negara-negara produsen.

Pada pertemuan negara-negara G-7 pada April, para menteri negara kelompok itu setuju mengeluarkan US$13 miliar untuk pendanaan proyek pertambangan baru. Jerman merencanakan dana serupa senilai 2 miliar euro.

6. Apakah itu bakal berhasil?

Perilaku China dan negara-negara lain yang ekonominya berkembang pesat untuk semakin membatasi ekspor bahan baku industri, AS dan Eropa bergegas membangun kapasitas penyulingan mereka sendiri. Masalahnya, tidak mudah mendapatkan sumber komoditas hasil tambang yang akan diolah. 

Di Kongo, misalnya, AS telah menandatangani perjanjian awal untuk membantu negara tersebut mengembangkan rantai pasokan kendaraan listrik. Namun, lebih dari separuh tambang kobalt negara itu sudah dimiliki atau dikendalikan oleh perusahaan China.

Sementara itu, tambang skala besar lainnya yang tidak berada di tangan China, dikuasai oleh miliarder Israel yang terkena sanksi negara-negara barat, Dan Gertler. Pemerintah Kongo sedang melobi agar sanksi AS terhadap Gertler dicabut, tetapi hal itu akan menyebabkan pemerintah Biden dituduh menerapkan standar ganda. 

Larangan ekspor bahan mentah kritis (Sumber: Bloomberg)

7. Bagaimana tanggapan China ke AS?

Bahkan sebelum adanya tanggapan langsung dari Beijing, perusahaan-perusahaan China tampaknya sudah siap mengkonsolidasikan cengkeraman mereka pada logam utama seperti nikel dan kobalt.

Dalam hal lithium, di saat AS membangun jaringan pasokan dengan mitra perdagangan bebas seperti Kanada dan Australia, China mengkonsolidasikan hubungannya dengan negara-negara Afrika yang diharapkan menjadi salah satu produsen logam terbesar di dunia pada akhir dekade ini.

Adapun dalam hal mineral tanah jarang, ada tanda-tanda bahwa China mungkin berusaha mencegah upaya barat untuk membangun kapasitas penambangan dan pemrosesan baru dengan membatasi ekspor teknologi dan peralatan utama. 

--Dengan asistensi Ramsey Al-Rikabi, Annie Lee, Michael J. Kavanagh, dan Bryce Baschuk.

(bbn)

No more pages