Cuma memang, ketimpangan market cap Grup Danantara lebih tampak. Kontribusi market cap hanya terkonsentrasi di emiten tertentu saja, khususnya bank.
Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) menyumbang market cap paling besar, Rp612,3 triliun. Di luar sektor perbankan, hanya PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) yang paling dominan, dengan menyumbang market cap Rp324,92 triliun.
Ketimpangan market cap tersebut bahkan bisa saja membuat posisi Grup Danantara kalah dengan Grup Salim, jika memasukkan faktor market cap PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) dan PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN).
Market cap MEDC dan AMMN masing-masing Rp30,79 triliun dan Rp609,15 triliun. Keduanya membuat market cap Grup Salim bertambah jadi sekitar Rp1.847 triliun, terbesar kedua setelah Grup Barito.
Aksi Korporasi & MSCI
Analis Algoresearch Alvin Baramuli dalam risetnya mengatakan, ada dua faktor utama penyebab naiknya saham-saham konglomerat.
"Apresiasi saham-saham konglomerat banyak dipengaruhi oleh sentimen aksi korporasi an rebalancing MSCI," ujar Alvin.
Namun yang mengejutkan, menurut Alvin, dana asing kembali masuk. Cuma memang, aliran dana ini terbatas pada saham big banks dan TLKM.
Pandhu Dewanto, Analis Investindo Nusantara Sekuritas, mengatakan mayoritas bursa dunia belakangan bergerak dalam tren bullish. Sejumlah indeks utama, seperti S&P 500 dan Nasdaq di AS, Nikkei di Jepang, ASX Australia, FTSE Inggris, dan TSX Kanada, bahkan sempat mencetak rekor tertinggi, hingga bursa saham Asia termasuk IHSG mengekor.
“Fund flow global cukup kuat ke pasar saham. Investor tampak lebih berani masuk ke aset berisiko seiring outlook pemangkasan suku bunga. Pasar optimis The Fed akan memangkas suku bunga dua kali lagi tahun ini, mulai dari September," ujar Pandhu.
Selain faktor global, kinerja ekonomi Indonesia turut memperkuat daya tarik pasar. Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal II/2025 tumbuh di atas 5%, melampaui ekspektasi yang memperkirakan perlambatan dari kuartal sebelumnya. Inflasi juga masih terjaga pada tingkat yang relatif rendah.
Dengan data ekonomi yang positif, potensi penambahan bobot Indonesia dalam rebalancing MSCI semakin terbuka.
“Pada indeks review terakhir, jumlah saham yang masuk lebih banyak dari yang keluar, mengindikasikan potensi inflow dari pelaksanaan rebalancing kali ini,” tambah Pandhu.
Setali tiga uang, Handiman Soetoyo, Managing Director Solstice Indonesia, menilai rebalancing MSCI memang menjadi salah satu faktor utama yang mendorong pergerakan IHSG terutama pada pekan lalu.
“Ada kenaikan probabilitas penurunan suku bunga The Fed pada pertemuan FOMC September dan Oktober. Khusus sektor perbankan, ada harapan perbaikan kinerja semester II/2025 seiring membaiknya likuiditas dan peningkatan belanja pemerintah. Saham perbankan masih lagging, sehingga memicu bargain hunting,” paparnya.
Dari sisi aliran dana, investor asing tercatat melakukan net buy yang semakin kuat dalam beberapa hari terakhir, terutama pada saham-saham blue chip.
(dhf)































