Logo Bloomberg Technoz

“Penurunan suku bunga membuka peluang akumulasi pada sektor perbankan, properti, dan ritel. Di sisi lain, tekanan dari tarif AS membuat investor perlu lebih selektif, terutama terhadap saham berorientasi ekspor di sektor manufaktur,” jelas Reydi.

Meski demikian, ia mengingatkan bahwa katalis positif dari pemangkasan suku bunga bisa tertutup jika kondisi eksternal terus memburuk.

“Kalau tensi geopolitik memanas dan permintaan global menurun akibat tarif AS, maka dampak positif dari BI Rate saja tidak cukup. Kita butuh dukungan lain seperti penguatan rupiah dan inflasi yang tetap terkendali,” katanya.

Efek Sektoral

Terkait dampak langsung tarif 19% dari AS, Reydi menilai sektor tekstil, otomotif, dan elektronik menjadi yang paling rentan. Ketiganya memiliki ketergantungan tinggi pada pasar ekspor ke Amerika.

“Emiten padat karya dan manufaktur yang orientasinya ekspor, seperti produsen kabel dan semikonduktor, akan terkena tekanan langsung dari kebijakan tarif ini,” ujarnya.

Sementara itu, sektor yang paling mungkin diuntungkan dari pelonggaran suku bunga adalah perbankan karena permintaan kredit biasanya naik, lalu properti karena bunga KPR lebih rendah, yang terakhir, konsumsi dan ritel karena daya beli masyarakat cenderung meningkat saat suku bunga turun.

“Permintaan domestik akan naik. Ini menguntungkan sektor UMKM, KPR, dan konsumsi rumah tangga,” tambahnya.

Namun tidak semua sektor terkena sentimen tunggal. Beberapa mengalami dampak ganda alias positif dan negatif sekaligus.

“Sektor seperti otomotif, tekstil, dan CPO menghadapi sentimen campuran. Ekspornya terdampak tarif, tapi permintaan domestik bisa terdongkrak oleh BI rate yang lebih rendah,” papar Reydi.

Menurutnya, strategi investor sebaiknya difokuskan pada analisis mendalam tiap emiten, bukan hanya sektornya. Ia menyarankan fokus pada perusahaan dengan struktur biaya efisien dan eksposur pasar domestik yang kuat.

(dhf)

No more pages