Dia menyebut hingga saat ini sektor batu bara memang menjadi fondasi bagi perekonomian Indonesia, yang berkontribusi signifikan pada penerimaan negara, pendapatan devisa, keuntungan korporasi, dan lapangan kerja.
Ilango memaparkan kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) di tingkat nasional sekitar 3,6% dalam beberapa tahun terakhir.
Sementara di sejumlah daerah penghasil batu bara, kontribusi sektor ini mencapai 40% di Kalimantan Timur, 25% di Sumatra Selatan, dan 15% di Kalimantan Selatan.
“Namun, dengan temuan dalam laporan ini, kontribusi tersebut berpotensi terus berkurang dalam jangka panjang,” ujarnya.
Dari hasil analisisnya, ESI menemukan terdapat 12 perusahaan batu bara Indonesia dapat melakukan diversifikasi dan mengamankan bisnis untuk jangka panjang.
Perusahaan tersebut yakni PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI), PT Bayan Resource Tbk (BYAN), PT Indika Energy Tbk (INDY), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Bumi Resources (BUMI) Tbk, PT ABM Investama Tbk (ABMM) Tbk, PT Bukit Asam Tbk (PTBA).
Kemudian PT Harum Energy Tbk (HRUM), PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS), Geo Energy Resources, PT Prima Andalan Mandiri Tbk (MCOL), dan PT Baramulti Suksessarana Tbk (BSSR).
ESI menilai sebagian besar tambang batu bara tersebut memiliki aset mature yang mampu mempertahankan produksi dengan kebutuhan investasi yang relatif rendah, neraca keuangan yang sehat yang dapat menjadi penyangga likuiditas.
Di sisi lain, profil risiko keuangan 11 perusahaan berada pada tingkat rendah hingga menengah, dengan rata-rata perbandingan utang dan ekuitas 21%, jauh lebih rendah dari perusahaan sejenis di dunia pada kisaran 101%.
Menurutnya, hanya segelintir perusahaan yang telah mengumumkan langkah parsial untuk mengurangi emisi, menjajaki energi terbarukan, dan ekspansi ke industri lain. Kebanyakan rencana-rencana ini masih pada tahapan awal dan belum menunjukkan pergeseran berarti.
“Perusahaan yang menunda perubahan demi mengejar keuntungan jangka pendek, atau hanya menunggu cadangan habis, justru akan membatasi fleksibilitasnya dan meningkatkan risiko jangka panjang,” tutur Ilango.
Managing Director ESI Putra Adhiguna menambahkan gabungan faktor kepercayaan pasar pada sektor batu bara, kestabilan permintaan dan pasokan dalam jangka menengah, serta profitabilitas yang cukup terjaga, menempatkan Indonesia eksportir batu bara termal terbesar di dunia pada posisi yang ideal untuk menggunakan arus kas guna merancang transisi yang lebih teratur.
“Untuk itu, kami mendorong perusahaan tambang Indonesia untuk meninggalkan sikap wait and see,” tutur Putra.
Meski demikian, industri batu bara menghadapi sejumlah risiko, seperti ketergantungan ekspor ke China dan India yang mencapai 63% pada 2023. Konsentrasi keuntungan pun sangat tinggi dengan keuntungan US$31,4 miliar hanya dinikmati oleh 28 perusahaan.
Di sisi lain, regulasi pemerintah seperti kewajiban pasar domestik (DMO), retensi devisa (DHE), dan penyesuaian royalti yang lebih tinggi dibanding komoditas utama lainnya terus berjalan.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan pemasukan negara dalam jangka pendek dapat membuat perusahaan semakin enggan melakukan transisi.
“Menemukan insentif bagi sektor ini untuk beralih ke bisnis yang lebih berkelanjutan sangat penting agar perusahaan-perusahaan ini tetap dapat berkontribusi bagi masa depan ekonomi Indonesia dan daerah-daerah penghasil batu bara,” ucap Putra.
(mfd/naw)































