Logo Bloomberg Technoz

“Secara teknis memang bisa memperluas ruang gerak investor global. Tapi jika faktor-faktor fundamental pasar belum kuat, penambahan waktu justru berisiko membuat sesi perdagangan jadi tidak efisien,” ujarnya kepada Bloomberg Technoz, Senin (16/6/2025).

Pandhu menambahkan bahwa pelaku industri seperti sekuritas dan emiten juga akan menanggung konsekuensi biaya operasional tambahan jika jam perdagangan diperpanjang. Hal ini perlu dihitung matang agar tidak menjadi beban baru bagi pasar yang masih dalam fase konsolidasi.

Lebih Baik Hapus FCA

Hal senada juga pernah disampaikan oleh Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata. Ia secara lugas menyebut langkah perpanjangan jam perdagangan “belum tentu efektif” dalam meningkatkan likuiditas.

“Itu cuma bikin tambah capek aja, belum tentu transaksinya tambah,” kata Liza, saat diwawancarai pada 27 Mei 2025 lalu.

Liza justru menyoroti berbagai kebijakan teknis yang dinilai turut membatasi ruang gerak saham, seperti mekanisme Unusual Market Activity (UMA) dan Full Call Auction (FCA).

Ia mencontohkan kasus saham Barito Renewables Energy (BREN) yang terkena FCA hingga menarik sorotan FTSE Russell dan berimbas ke indeks MSCI.

“Waktu kasus BREN kena FCA, sampai mendapat sorotan dari FTSE Russell, lalu merembet ke MSCI. Akhirnya itu justru mengecilkan kolam investasi kita dari fund manager besar,” jelasnya.

Ilustrasi Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). (Dok: Bloomberg)

Menurut Liza, yang paling penting bagi investor institusi bukan soal jam buka pasar, melainkan ketersediaan likuiditas dan kebebasan pasar itu sendiri.

“Buat fund manager, yang penting itu likuiditas. Bukan soal jam buka toko diperpanjang, tapi barang dagangannya itu-itu lagi, terbatas, dan banyak aturannya,” ujarnya.

Tak hanya pelaku pasar, akademisi pun melihat rencana ini dengan kaca mata kritis. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Budi Frensidy, menekankan bahwa banyak cara lain yang lebih murah dan lebih berdampak langsung terhadap volume transaksi.

“Kalau pun transaksi naik karena perpanjangan jam perdagangan, tidak tahu pasti signifikan atau tidak,” ujar Budi.

Ia mengingatkan bahwa kebijakan ini membutuhkan dukungan sistem dan sumber daya tambahan yang berpotensi menimbulkan biaya besar. Oleh sebab itu, perlu kajian mendalam untuk menakar cost and benefit dari perubahan tersebut.

“Alih-alih memperpanjang jam perdagangan, penghapusan FCA, UMA, haircut, dan aturan-aturan yang kurang masuk akal bisa jauh lebih efektif dan murah,” tegasnya.

Sementara itu, BEI menyebut kebijakan ini mencontoh dari bursa besar seperti New York Stock Exchange (NYSE) yang memiliki sesi pre-opening dan pre-closing panjang. Namun, menurut Liza, kondisi pasar domestik berbeda jauh dari NYSE. Ia justru menilai China sebagai contoh yang lebih relevan.

Ia mencontohkan stimulus besar-besaran yang digelontorkan pemerintah Tiongkok untuk mendorong pasar modal, seperti penggabungan fasilitas swap senilai 500 miliar yuan dengan pembiayaan buyback saham 300 miliar yuan, menjadi satu paket sebesar 800 miliar yuan atau setara Rp1.760 triliun.

“Kita mungkin gak ada uang sebanyak itu. Tapi intinya tetap, yaitu stimulus atau insentif harus ke arah memperbesar likuiditas pasar, bukan sekadar buka lebih lama,” kata Liza.

Dari sisi pelaku industri, beban operasional juga menjadi kekhawatiran utama. Penambahan jam perdagangan dinilai akan menuntut penyesuaian infrastruktur sistem dan jam kerja SDM di seluruh lini pasar modal.

(dhf)

No more pages