Secara global, ketidakpastian berasal dari gejolak imbas kebijakan tarif Amerika Serikat (AS), termasuk rencana pemerintah untuk melonggarkan produk impor, yang berpotensi membuat banjirnya produk impor.
“Artinya dari hasil survei tersebut, ada tekanan psikologis pada persepsi pelaku usaha menghadapi perang tarif global dan banjir produk impor pada pasar domestik,” tutur dia.
Apalagi, angka PMI Manufaktur Tanah Air juga terbilang cukup rendah dibandingkan sejumlah negara Asia Tenggara lain seperti Thailand (49,5) dan Malaysia (48,6). Filipina menjadi negara yang paling ekspansif.
Tunggu Kebijakan Pro-Industri
Febri mengatakan para pelaku usaha belakangan juga telah cukup bersuara dan melaporkan berbagai keluhannya kepada otoritas industri atas kondisi ketidakpastian saat ini.
Apalagi, dari sisi struktur produksi, sekitar 20% produk industri nasional dialokasikan untuk pasar ekspor, sementara 80% lainnya diserap oleh pasar domestik yang mencakup belanja pemerintah, swasta, dan rumah tangga.
"Mereka menunggu kebijakan-kebijakan strategis dari pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada industri dalam negeri untuk bisa berdaya saing," kata dia.
Kontraksinya PMI Manufaktur tersebut, dilaporkan S&P Global, juga menyatakan dalam jangka pendek, outlook juga masih belum pasti karena pelaku usaha memilih untuk mempertahankan kapasitas yang ada.
"Perusahaan mengalihkan kapasitas untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum terselesaikan akibat tidak ada penjualan, tampaknya kondisi ini akan berlanjut beberapa bulan mendatang,” kata Usamah Bhatti, Ekonom S&P Global Market Intelligence.
(ain)
































