Logo Bloomberg Technoz

Hosianna mengatakan arah penurunan suku bunga bank sentral Federal Reserves baru cenderung terjadi mulai Juni 2025. Sementara itu, pasar keuangan domestik masih mengalami aliran dana keluar, di tengah masih relatif minimnya penempatan dan konversi valas dari Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA), yang membatasi potensi penguatan rupiah dalam jangka pendek.

"Meski begitu, apabila tekanan rupiah mulai mereda setelah musim repatriasi dividen dan The Fed mulai bersikap lebih dovish, ruang pelonggaran suku bunga terbuka di paruh kedua. Kami melihat potensi penurunan sebesar 25 basispoin [bps] ke 5,5% pada kuartal III-2025, dengan asumsi inflasi tetap terjaga dan arus modal mulai kembali stabil," ujar Hosianna kepada Bloomberg Technoz. 

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan salah satu faktor BI Rate berpotensi tetap berada di level 5,75% ialah karena pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih bisa ditahan dengan menggunakan cadangan devisa. Diketahui, per Maret 2025 cadangan devisa masih ada di angka US$157 miliar.

"Masih dipertahankan BI di level 5,75%. Faktornya pelemahan kurs rupiah sejauh ini masih bisa ditahan dengan cadangan devisa. Masih cukup untuk intervensi tanpa naikkan suku bunga," katanya kepada Bloomberg Technoz, Selasa (22/4/2025).

Bhima melanjutkan, BI juga diperkirakan akan masih menjaga suku bunga sebagai stimulus di sektor riil. Hal tersebut bertujuan agar tidak terjadi kenaikan beban bunga pinjaman, baik di kredit usaha maupun kredit konsumsi. Namun, Bhima memperingatkan agar BI memperhatikan beberapa hal, Seperti keadaan rupiah yang masih berisiko tertekan. 

"Terutama pada musim pembagian dividen, karena ada repatriasi dana keluar negeri. Investor asing setelah mendapat dividen cenderung mentransfer kembali ke negara asalnya," tambahnya.

Namun, Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia Fakhrul Fulvian memandang BI bisa melanjutkan pemotongan suku bunga dari level saat ini sebesar 5,75%. 

Keputusan ini bisa diambil dengan mempertimbangkan potensi perlambatan ekonomi yang muncul, serta sangat rendahnya realisasi inflasi yang saat ini berada di bawah target 2,5% plus minus 1%. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan indeks harga konsumen (IHK) Maret 2025 mengalami inflasi sebesar 1,65% secara bulanan (month-to-month/mtm).

Fakhrul mengatakan, di tengah kondisi perang dagang yang makin rumit, pemangku kebijakan harus melihat lebih jauh dan memandang bahwa peristiwa tersebut kemungkinan besar adalah hal yang struktural dan akan berlanjut lama. 

"Terkait dengan ini, akan sangat bijaksana kalau BI mulai melanjutkan pemotongan suku bunga pada April ini," ujar Fakhrul dalam keterangan tertulis, Selasa (22/4/2025).

Fakhrul mengatakan pelemahan rupiah saat ini harus dilihat sebagai momentum untuk meningkatkan ekspor, terutama dari daerah berbasis komoditas. "Di sisi lain, sudah terbukti bahwa dampak passthrough dari pelemahan rupiah kepada tingkat inflasi Indonesia juga semakin terbatas."

(lav)

No more pages