Fakhrul mengatakan pelemahan rupiah saat ini harus dilihat sebagai momentum untuk meningkatkan ekspor, terutama dari daerah berbasis komoditas. "Di sisi lain, sudah terbukti bahwa dampak passthrough dari pelemahan rupiah kepada tingkat inflasi Indonesia juga semakin terbatas."
Dikonfirmasi secara terpisah, Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang memproyeksikan BI akan mempertahankan suku bunga pada 5,75% dalam RDG April, sebagai bagian dari strategi menjaga stabilitas rupiah di tengah tekanan eksternal yang masih tinggi.
Hosianna mengatakan arah penurunan suku bunga Bank Sentral Federal Reserves baru cenderung terjadi mulai Juni 2025. Sementara itu, pasar keuangan domestik masih mengalami outflow, di tengah masih relatif minimnya penempatan dan konversi valas dari Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA), yang membatasi potensi penguatan rupiah dalam jangka pendek.
"Meski begitu, apabila tekanan rupiah mulai mereda setelah musim repatriasi dividen dan The Fed mulai bersikap lebih dovish, ruang pelonggaran suku bunga terbuka di paruh kedua. Kami melihat potensi penurunan sebesar 25 basispoin [bps] ke 5,5% pada kuartal III-2025, dengan asumsi inflasi tetap terjaga dan arus modal mulai kembali stabil," ujar Hosianna kepada Bloomberg Technoz.
Terakhir, Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto juga memproyeksikan BI tetap mempertahankan suku bunga acuan pada level 5,75%.
Ryan tetap melihat kemungkinan penurunan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 5,5%, tetapi peluangnya lebih kecil dibandingkan menahan.
Ryan menyoroti kebijakan moneter harus lebih mendukung stabilitas nilai tukar rupiah dalam situasi dan kondisi ekonomi serta geopolik global yang tidak baik-baik saja. Terlebih, perkembangan kurs rupiah saat ini yang juga masih rentan terhadap sentimen eksternal yang tidak kondusif.
Mengacu data realtime Bloomberg, rupiah spot melemah 0,33% ke level Rp16.860/US$, yang menjadi level rupiah terlemah sejak terakhir kali menjebol level psikologis terburuk pada 8 April lalu. Kala itu rupiah sempat menembus level terlemah dalam sejarah di Rp16.957/US$.
"Dengan demikian, maka pilihan terbaik untuk saat ini adalah BI tetap mempertahankan BI Rate pada level 5,75%. Ini terutama lantaran tekanan eksternalnya masih kuat terutama dipicu oleh polemik perang tarif yang terus bergulir hingga saat ini yang menciptakan ketidakpastian baru setelah Pandemi Covid-19," ujar Ryan dalam keterangan tertulis.
Ryan menekankan, jangka waktu penundaan pengenaan tarif resiprokal oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump selama 90 hari sejak 9 April lalu justru memperpanjang ketidakpastian.
"Jadi sikap BI adalah bauran kebijakan sebagai kebijakan yang tepat, yaitu hawkish policy [menahan suku bunga acuan atau BI Rate] untuk mendukung stabilitas dan dovish policy [pelonggaran kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran] yang mendukung pertumbuhan," ujarnya.
Bagi pelaku usaha, kata Ryan, stabilitas kurs rupiah menjadi sangat penting karena berkaitan dengan penyusunan strategi pengembangan bisnis baik untuk eskportir maupun importir. Dengan bauran kebijakan BI tersebut, industri perbankan dan sektor riil diharapkan tetap ekspansi secara terukur, hati-hati dan terarah.
Konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg menghasilkan median proyeksi BI Rate tetap bertahan di 5,75% bulan ini. Konsensus didapat dari 27 ekonom/analis yang terlibat.
Dari 27 analis/ekonom, sebanyak 25 di antaranya memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan kolega tidak mengubah suku bunga acuan, tetap di 5,75%.
(lav)





























