Setelah itu, Ariyanto menyampaikan informasi tersebut kepada rekannya Marcella Santoso. Kemudian Marcella menemui Syafei di rumah makan pada daerah Jakarta Selatan untuk mendiskusikan penanganan perkara. Lalu, mereka kembali bertemu untuk menyiapkan biaya penanganan perkara sebesar Rp20 miliar.
“Kemudian Tersangka AR, Tersangka WG, dan Tersangka MAN bertemu di rumah makan Layar Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Timur,” ucap Qohar.
Dalam pertemuan itu, Arif mengatakan perkara minyak goreng tidak dapat diputus bebas namun bisa diputus lepas atau onslag. Arif juga meminta agar uang Rp20 miliar dikali tiga sehingga menjadi Rp60 miliar.
"MSY menyanggupi akan menyiapkan permintaan tersebut dalam bentuk mata uang dolar AS atau dolar Singapura," kata Qohar.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Syafei langsung ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung untuk 20 hari pertama.
Awal Mula Cerita Suap Kasus CPO
Dalam perkara ini, korps Adhyaksa menetapkan status tersangka dan langsung menahan tiga hakim yang menjadi majelis dalam perkara tersebut. Mereka adalah ketua majelis hakim Djumyanto; hakim anggota Agam Syarif Baharuddin, dan hakim ad hoc Ali Muhtarom.
Ketiga hakim tersebut dituduh mengetahui dan menerima suap Rp22,5 miliar kemudian memberikan putusan lepas kepada sejumlah korporasi dari Wilmar Grup, Permata Hijau Grup, dan Musim Mas Grup.
Dalam kasus ini, jaksa sudah lebih dulu menetapkan empat tersangka lain yaitu Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta; Panitera Muda PN Jakarta Pusat Wahyu Gunawan; serta dua pengacara Marcella Santoso dan Ariyanto.
Qohar menyatakan, uang suap Rp60 miliar diberikan oleh Ariyanto kepada Arif. Uang tersebut diberikan melalui Wahyu Gunawan selaku penghubung. Dari jumlah tersebut, Arif memberikan sekitar US$50 ribu atau lebih dari Rp800 juta kepada Wahyu sebagai imbalan.
Arif kemudian menyusun majelis hakim untuk memimpin perkara korupsi ekspor CPO. Tiga hakim pun terpilih yaitu Hakim Djuyamto sebagai ketua majelis, Hakim Agam Syarif Baharuddin sebagai anggota, dan Hakim Ad Hoc Ali Muhtarom sebagai anggota.
Usai penetapan majelis, Arif memanggil Djuyamto dan Agam. Dalam pertemuan tersebut, Arif menyerahkan uang Rp4,5 miliar kepada keduanya dengan pesan memberikan atensi khusus pada kasus korupsi Wilmar Grup cs. Uang tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tas dan dibagi rata bagi tiga hakim yang menjadi majelis.
Jelang putusan, Arif kembali bertemu Djuyamto di Pasar Baru. Dalam pertemuan tersebut, dia menyerahkan uang tunai kepada Djuyamto senilai Rp18 miliar.
Kata Qohar, uang tersebut dibagi tiga dengan pembagian yang berbeda yaitu Djuyamto sebesar Rp6 miliar, Agam sebesar Rp4,5 miliar, dan Ali sebesar Rp5 miliar. Djuyamto kemudian menyisihkan beberapa jatahnya senilai Rp300 juta untuk panitera perkara tersebut.
(wep)





























