Logo Bloomberg Technoz

PDB atas dasar harga konstan menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap kategori dari tahun ke tahun. Nilai PDB atas dasar harga konstan berarti ukuran ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Sejak 2014, BPS mengubah penghitungan PDB dari tahun dasar 2000 menjadi 2010. 

Lima tahun masa kepemimpinan Jokowi, pada 2019 Indonesia mencatat nilai PDB sebesar Rp10.949,2 triliun. Artinya, selama periode 2014-2019, tercatat pertumbuhan nilai PDB selama periode kepemimpinan Jokowi 1 adalah 28%. 

Rapor pertumbuhan ekonomi era SBY vs Jokowi periode 2004-2023 (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Akan tetapi, bila menghitung nilai PDB pada periode kedua Jokowi di istana, yaitu dari 2019 hingga data terakhir 2022, lajunya justru melambat dengan pertumbuhan cuma 7%. Pada akhir 2022, nilai PDB Indonesia berdasarkan harga konstan tercatat Rp11.710,4 triliun. Sedangkan nilai PDB RI atas dasar harga berlaku pada 2022 mencapai Rp19.588,4 triliun.

Bisa disimpulkan bahwa selama dua periode Jokowi menjabat, ukuran ekonomi Indonesia tercatat mampu tumbuh 36,73%. 

Sedangkan bila melihat lajunya, selama Jokowi berkuasa hingga dua periode pada 2014-2022, rata-rata pertumbuhan ekonomi tercatat 4,26% per tahun. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan torehan laju pertumbuhan ekonomi RI selama SBY menjabat pada periode 2004-2013 yang sebesar 5,9% per tahun.

Kendati misalnya pertumbuhan ekonomi RI tahun ini bisa tercapai 5% sesuai prediksi terbaru IMF, Jokowi juga belum akan mampu melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi era SBY. Memasukkan asumsi 5% pada 2023, rata-rata pertumbuhan ekonomi RI selama 2014-2023 hanya akan tercatat 4,33%.

Jokowi baru bisa menyamai capaian pertumbuhan ekonomi era SBY bila pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa menembus 20%, sesuatu yang hil mustahal di tengah perlambatan perekonomian global buntut dari krisis geopolitik dan disrupsi rantai pasokan global pasca pandemi pecah. Pada kuartal 1 lalu, Indonesia baru mencetak pertumbuhan 5,03%.

Pendapatan per kapita

Bagaimana dengan pendapatan per kapita semasa kepemimpinan dua presiden tersebut? Pada tahun pertama SBY memerintah secara penuh yaitu 2005, pendapatan per kapita RI tercatat sebesar US$1.249. Ketika SBY lengser pada 2014, pendapatan per kapita Indonesia tercatat di angka US$3.477. Terjadi peningkatan sebesar 178,4% selama 10 tahun pemerintahan. 

Rapor ekonomi Jokowi vs SBY dilihat dari pertumbuhan pendapatan per kapita (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Sedangkan pada era Presiden Jokowi, bila dihitung rentang 2015 saat ia mulai menjabat penuh, pendapatan per kapita RI tercatat sebesar US$3.323. Pada 2022, pendapatan per kapita Indonesia sudah naik menjadi US$ 4.783. Artinya, dalam rentang waktu 8 tahun pemerintahan, pendapatan per kapita RI tumbuh 44%. 

Bisa disimpulkan, pada masa SBY, pendapatan per kapita RI tumbuh empat kali lebih cepat dibandingkan zaman Jokowi. Pada 2023, pendapatan per kapita Indonesia diprediksi bisa menembus US$5.000. Jokowi masih punya waktu mengejar ketertinggalan itu hingga 2024.

Bonanza komoditas dan krisis ekonomi

Jokowi dan SBY sama-sama diuntungkan oleh booming komoditas ketika keduanya memerintah. Di masa pemerintahan SBY, harga komoditas seperti batubara melejit tinggi terdongkrak pertumbuhan ekonomi China yang menyentuh double digit sehingga mengerek permintaan komoditas dari Indonesia. 

Sedangkan di masa Jokowi, harga komoditas melejit tinggi dan menjadi penyelamat perekonomian di tengah resesi akibat pandemi Covid-19, menyusul aksi invasi Rusia ke Ukraina pada awal 2022. 

Ilustrasi lockdown akibat Covid-19. (Dimas Ardian/Bloomberg)

Dua presiden tersebut juga sama-sama menghadapi krisis ekonomi besar di tengah-tengah masa pemerintahannya. SBY dihadapkan pada krisis finansial global 2008 yang berepisentrum di Amerika Serikat. Namun, Indonesia kala itu relatif resilien dari dampak krisis finansial Amerika kendati kemudian pecah krisis politik dampak dari pecahnya skandal Bank Century yang melahirkan drama berkepanjangan di parlemen kisaran 2008-2010.

Bahkan, pasca krisis yang diawali dari ambruknya Lehman Brothers itu, Indonesia justru menikmati limpahan dana asing yang membanjiri pasar keuangan domestik setelah Federal Reserve, bank sentral Amerika, menggelar quantitative easing sebagai siasat AS bangkit dari krisis.

Sebaliknya, Jokowi ketiban sampur dengan pecahnya pandemi Covid-19 pada 2020. Tidak ada satupun negara di atas dunia ini yang berhasil lolos dari dampak pandemi terburuk dalam 100 tahun itu.

Ekonomi Indonesia pada 2020 nyungsep parah hingga mencetak pertumbuhan negatif selama empat kuartal berturut-turut sampai Maret 2021 lalu.

Akan tetapi, pecahnya perang di Ukraina, malah menjadi “berkah tak terduga” bagi Indonesia dengan melesatnya harga komoditas. Sebagai surga komoditas alam, Indonesia adalah yang paling diuntungkan dari situasi kenaikan harga komoditas global sehingga mengantarkan surplus neraca dagang RI tanpa putus selama 35 bulan berturut-turut. 

Utang dan infrastruktur

Dalam setiap pembahasan membandingkan dua presiden tersebut, isu perkara utang niscaya selalu tajam. Jokowi disebut sebagai presiden yang paling getol menambah utang. Benarkah sangkaan tersebut? Mari  melihat datanya.

Ketika Jokowi masuk ke istana, posisi utang pemerintah terhadap PDB memang baru sebesar 24,68% pada 2014. Angka itu terus naik sepanjang periode pertama Jokowi di mana pada 2019, debt ratio Indonesia mencapai 30,56%. 

Pecahnya pandemi yang membuat perekonomian sekarat, memaksa Indonesia dan banyak negara-negara di dunia menggeber utang baru untuk menolong perekonomian yang terbenam resesi.

Betapa tidak, pandemi mematikan aktivitas ekonomi, bisnis dan sosial, penerimaan negara dari pajak dan perputaran roda ekonomi meluncur ke titik nadir. Utang jadi solusi agar ekonomi tetap terstimulasi. 

Alhasil, pada 2020, rasio utang terhadap PDB langsung naik signifikan ke level 39,76%. Angka itu terus melesat sampai ke level 41,15% pada 2021 walau per Maret 2023 lalu sudah melandai ke 39,17%. Total utang pemerintah per Maret lalu mencapai Rp7.879,07 triliun. 

Bagaimana bila dibandingkan dengan SBY?

Ketika SBY mulai berkuasa pada 2004, rasio utang RI terhadap PDB mencapai 51,33%. Namun, dalam rentang 10 tahun pemerintahan, SBY berhasil menekan rasio utang hingga ke posisi 24,88%. Dengan kata lain, bisa dibilang SBY berhasil menekan rasio utang lebih banyak dibandingkan Jokowi.

Rapor utang pemerintah Jokowi 2014-2023 (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Berdasarkan UU Nomor 17/2023 tentang Keuangan Negara yang membatasi rasio utang maksimal 60% PDB, rasio utang RI saat ini boleh dikategorikan masih aman. Lagi-lagi itu tidak bisa dilepaskan dari kebijakan adaptasi karena pandemi Covid-19.

Akan tetapi, perlu dicatat, sebelum pandemi meletus, rasio utang RI baru sebesar 30,2%. Selain itu, bila mengacu pada batas aman rasio utang terhadap PDB menurut International Monetary Fund (IMF), posisi rasio utang terhadap PDB per 31 Maret 2023 itu sudah melampaui batas aman 25%-35%.

“Raja tol” atau “Bapak Infrastruktur”?

Besarnya utang di masa Jokowi berkuasa tidak bisa dilepaskan dari ambisi mantan Gubernur DKI Jakarta itu dalam membangun infrastruktur, terutama jalan tol. Jokowi bahkan disebut-sebut sebagai Bapak Infrastruktur. Tepatkah hal itu?

Mengacu pada data yang dirilis oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, selama periode 2014 hingga Maret 2023, total jalan tol yang dibangun mencapai 1.848,1 kilometer atau 264,01 kilometer per tahun.

Sedangkan SBY, selama rentang 2004 hingga 2019, membangun jalan tol sebanyak 189,2 kilometer, hanya 10% dari yang telah dikerjakan oleh pemerintahan Jokowi. 

Namun, bila menilik data pembangunan jalan nasional, SBY ternyata jauh lebih unggul. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, selama SBY berkuasa, total panjang jalan di Indonesia bertambah 144.825 kilometer atau naik 39%, yaitu dari 372.928 kilometer pada 2004, menjadi 517.753 kilometer pada 2014.

Jalan negara pada satu dasawarsa SBY memerintah, tercatat tumbuh 11.804 kilometer menjadi 46.432 kilometer. Sedangkan jalan provinsi bertambah 13.403 kilometer menjadi 55.528 kilometer pada 2014. Adapun jalan di kabupaten/kota bertambah 119.618 kilometer menjadi 417.793 kilometer pada periode yang sama. 

Sebaliknya, capaian Jokowi untuk pembangunan jalan nasional hanya bertambah 6% atau cuma 31.408 kilometer, yaitu dari 517.753 kilometer pada 2014 menjadi 549.161 kilometer pada 2022. Panjang jalan yang dibangun Jokowi itu hanya 21,7% dari yang dikerjakan oleh SBY selama berkuasa di istana. 

Skor ICOR lebih rendah

Pemerintahan Jokowi menjadikan infrastruktur sebagai fokus utama pembangunan dengan anggaran mencapai Rp2.768,9 triliun selama periode 2015-2022. Anggaran infrastruktur pernah melejit hingga Rp400-an triliun pada 2019-2018. Tentu sebagian besar didanai oleh utang.

Bukan hanya jalan tol, ambisi Jokowi menggeber pembangunan infrastruktur seperti megaproyek listrik 35.000 MW, pembangunan bandara, hingga kereta cepat. Bahkan ambisi infrastuktur itu menyeret banyak BUMN dalam krisis utang seperti yang dialami oleh Waskita Karya dan BUMN infrastruktur lain.

Seberapa efektif dampak jor-joran pembangunan infrastruktur tersebut bagi pertumbuhan ekonomi? 

Rapor ekonomi Jokowi vs SBY dari sisi efisiensi biaya investasi (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Ambisi Jokowi menaikkan laju PDB ke 7% seperti dinyatakan dalam Nawa Cita sejauh ini sayangnya masih jauh dari harapan. Sampai kuartal 1-2023, pertumbuhan ekonomi RI tercatat 5,03%. Selama 2014-2022, rata-rata pertumbuhan ekonomi bahkan hanya 4,26%.

Tercatat, laju pertumbuhan ekonomi tertinggi pada era Jokowi tercapai pada 2017 ketika Indonesia tumbuh 5,19%. Besarnya anggaran infrastruktur ternyata tidak berbanding lurus dengan capaian pertumbuhan ekonomi tinggi.

Tingginya skor ICOR di era Jokowi menjadi indikasi bahwa besarnya anggaran pembangunan yang sebagian besar didanai oleh utang tak selalu diikuti oleh dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. 

Incremental Capital Output Ratio (ICOR) merupakan rasio antara tambahan output dengan tambahan modal. Bila koefisien ICOR kecil, maka perekonomian daerah atau negara tersebut dinilai semakin efisien. 

Data Center of Economic and Law Studies, mencatat, skor ICOR pada era Jokowi tercatat antara 6,2%-6,5%. Sedangkan skor ICOR zaman SBY, sekitar 4,5%. Pada 2022, seperti data BPS, ICOR Indonesia tercatat 6,2%, sudah jauh menurun dibandingkan 6,73% pada 2016 ataupun 8% pada 2021.

Inflasi dan rupiah

Prestasi Jokowi cukup mentereng bila bicara tentang inflasi. Selama berkuasa, pemerintahan Jokowi mencatat kisaran rata-rata inflasi tahunan yang rendah yaitu hanya 3,59% selama 9 tahun berkuasa. Sedangkan di era SBY, laju inflasi RI rata-rata tercatat 7,26% selama 10 tahun masa pemerintahan. 

Rapor Inflasi Jokowi vs SBY (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Akan tetapi, nilai tukar rupiah di era Jokowi kehilangan tuah. Sejak 20 Oktober 2014 sampai hari ini, Rabu (17/5/2023), rupiah rata-rata bergerak di kisaran Rp14.024/US$ dengan level terendah Rp11.991/US$ pada 21 Oktober 2014, sehari setelah Jokowi resmi dilantik.

Rupiah di masa Jokowi sempat melemah tak terkendali hingga ke level terburuk Rp16.575/US$ pada 23 Maret 2020, bulan ketika pandemi Covid-19 pecah.

Rapor ekonomi Jokowi vs SBY, pergerakan nilai tukar rupiah di era Jokowi tercatat lebih lemah (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Di era SBY, nilai tukar rupiah cenderung menguat di bawah Rp10.000/US$. Selama 2004-2014, nilai tukar rupiah bergerak di kisaran Rp9.694/US$ dengan level terendah di Rp8.465/US$ pada 1 Agustus 2011 dan level tertinggi di Rp12.650/US$ pada 24 November 2008 ketika krisis finansial global pecah.

Kemiskinan dan pengangguran

Mengacu pada data Badan Pusat Statistik terakhir, per September 2022, persentase penduduk miskin di Indonesia tercatat sebesar 9,57% dengan jumlah penduduk miskin mencapai 26,36 juta orang.

Angka-angka itu tidak bergesar jauh dari 2014, ketika Jokowi pertama menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia. Pada 2014, BPS melaporkan, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,73 juta orang atau setara persentase 10,96%. Praktis selama 9 tahun memimpin, angka kemiskinan hanya turun 5%.

Dibandingkan SBY, lagi-lagi Jokowi kalah telak. Pada 2004, jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat 36,15 juta orang atau 17,42% dari total jumlah populasi. Setelah 10 tahun memerintah, SBY berhasil menyeret turun angka kemiskinan hingga 21% menjadi 28,55 juta pada 2013. 

Rapor ekonomi Jokowi vs SBY -angka pengangguran tahunan (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Bagaimana dengan angka pengangguran? Pada tahun pertama SBY berkuasa, tingkat pengangguran di Indonesia adalah 9,86%. Ketika lengser, tingkat pengangguran RI berhasil turun ke 5,94% pada Agustus 2014.

Adapun Jokowi, pada periode pertama pemerintahannya berhasil mengerek turun unemployment rate dari 5,81% pada Februari 2015 menjadi 5,23% pada Agustus 2019. Berlanjut pada periode kedua pemerintahan, tingkat pengangguran RI kini berada di kisaran 5,45% per Februari 2023.

Jokowi masih memiliki waktu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum gelar Pemilu 2024 datang dan presiden terpilih dilantik.

Sejarah akan mencatat, warisan apa saja yang bakal ditorehkan oleh Presiden Joko Widodo dalam buku besar sejarah Republik Indonesia.

-- dengan bantuan laporan dari Sultan Ibnu Affan

(rui/evs)

No more pages