Kemarin malam, Kejagung telah menetapkan empat tersangka dari jajaran Pertamina, yakni: Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS); Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin (SDS); Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF); dan VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono (AP).
Sementara itu, tiga broker yang menjadi tersangka a.l. Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR); Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati (DW); dan Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede (GRJ).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar dalam konferensi pers, Senin (24/2/2025) malam mengatakan, berdasarkan perkembangan penyidikan tersebut, tim penyidik menyimpulkan dalam ekspose perkara bahwa telah terdapat serangkaian perbuatan tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara dan terdapat alat bukti cukup.
Bukti tersebut yakni pemeriksaan saksi sebanyak 96 orang; pemeriksaan terhadap dua orang ahli; penyitaan terhadap 969 dokumen; dan penyitaan terhadap 45 barang bukti elektronik.
Posisi Kasus
Harli menjelaskan posisi kasus dalam perkara ini, yakni dalam periode 2018—2023, pemenuhan minyak mentah dalam negeri seharusnya wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri dan Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.
Hal itu tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 42/2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Kebutuhan Dalam Negeri.
Namun, berdasarkan fakta penyidikan, tersangka RS, SDS, dan AP melakukan pengkondisian dalam rapat optimasi hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan kesiapan/produksi kilang, sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor.
Pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS sengaja ditolak dengan fakta yaitu produksi minyak mentah KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masih masuk range harga HPS.
Kemudian, produk minyak mentah KKKS dilakukan penolakan dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dengan kualitas kilang. Akan tetapi, faktanya minyak mentah bagian negara masih sesuai kualitas kilang dan dapat diolah dan dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.
“Saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan berbagai alasan, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan penjualan keluar negeri [ekspor],” kata Harili.
Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang.
Harli memaparkan dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga diperoleh fakta adanya pemufakatan jahat (mens rea) antara penyelenggara negara (tersangka SDS, AP, RS, dan YF) bersama DMUT/broker (tersangka MK, DW, dan GRJ) sebelum tender dilaksanakan dengan kesepakatan harga yang sudah diatur yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara.
Permufakatan tersebut, sebutnya, diwujudkan dengan adanya tindakan (actus reus) pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan DMUT/broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi (spot) yang tidak memenuhi persyaratan.
Harli mengungkapkan hal itu dilakukan dengan cara tersangka RS, SDS, dan AP memenangkan DMUT/broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum.
Adapun, tersangka DM dan GRJ melakukan komunikasi dengan AP untuk dapat memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari Tersangka SDS untuk impor minyak mentah dari Tersangka RS untuk impor produk kilang.
Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk RON 92, padahal sebenarnya hanya membeli RON 90 atau lebih rendah, kemudian dilakukan pembauran atau blending di fasilitas penyimpanan (storage) atau depo untuk menjadi RON 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan.
“Pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping atau pengiriman yang dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping sehingga negara mengeluarkan fee sebesar 13% s/d 15% secara melawan hukum sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,” jelas Harli.
Ketika kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan harga indeks pasar (HIP) bahan bakar minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN.
Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun, yang bersumber dari komponen sebagai berikut:
- Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp35 triliun.
- Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun.
- Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun.
- Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun.
- Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.
Para Tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(mfd/wdh)






























