Logo Bloomberg Technoz

“Untuk 2022, pembayaran bunga utang luar negeri jangka panjang diperkirakan naik 35% menjadi US$ 62 miliar (Rp 940,97 triliun). China akan menjadi penerima pembayaran bunga utang terbesar yakni 66%,” lanjut laporan Bank Dunia.

Kekhawatiran soal risiko krisis utang juga disuarakan oleh S&P Global Ratings. Ke depan, utang akan terus menumpuk dan pada akhirnya bakal menciptakan masalah.

S&P memperkirakan total utang dunia (pemerintah, korporasi, dan rumah tangga) pada 2030 bisa mencapai 366% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pada 2022, total utang dunia ada di 349% PDB.

"Permintaan utang akan meningkat. Apakah itu untuk menolong rumah tangga menghadapi peningkatan biaya hidup, mitigasi perubahan iklim, pembangunan infrastruktur, dan sebagainya. Untuk mencegah krisis, keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan sangat dibutuhkan," sebut laporan S&P yang ditulis oleh Terry Chan dan Alexandra Dimitrijevic.

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah posisinya lebih baik ketimbang negara-negara lain?

Hari ini, BI merilis data ULN periode November 2022. Posisi ULN per akhir November 2022 adalah US$ 392,6 miliar (Rp 5.958,49 triliun).

Secara tahunan (year-on-year/yoy), ULN turun 5,6%. Sementara secara bulanan (month-to-month/mtm) ada kenaikan 0,61%.

“Rasio ULN terhadap PDB tetap terjaga di kisaran 29,6%, turun dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 30,1%. Struktur ULN Indonesia juga tetap sehat, ditunjukkan oleh ULN yang tetap didominasi berjangka panjang mencapai 87,1%,” sebut keterangan tertulis BI.

Mengutip laporan International Debt Report 2022, sejumlah rasio utang Indonesia juga terlihat relatif sehat. Rasio utang terhadap ekspor pada 2021 berada di 164%, turun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 227%. Artinya, devisa dari ekspor yang harus terpakai untuk membayar utang luar negeri bisa dikurangi.

Kemudian rasio ULN terhadap GNI pada 2021 berada di 36%. Ini adalah yang terendah sejak 2017.

Sedangkan rasio bunga utang terhadap pendapatan ekspor pada 2021 adalah 29%. Turun dibandingkan 2020 yang 37% sekaligus jadi yang terendah sejak 2018.

Lalu rasio ULN jangka pendek terhadap total ULN pada 2021 relatif rendah yaitu 12%. Artinya risiko jangka pendek yang terkait pembayaran utang (kurs, suku bunga, dan sebagainya) relatif minim,

Sementara rasio cadangan devisa terhadap ULN pada 2021 adalah 34%. Naik dibandingkan tahun sebelumnya yang 31% dan merupakan yang tertinggi sejak 2017. Ini menunjukkan kemampuan Indonesia yang semakin baik dalam menghadapi tantangan eksternal, karena ‘bantalan’ berupa cadangan devisa kian kuat.

Meski demikian, tantangan 2023 tidak akan mudah. Risiko kenaikan suku bunga dan depresiasi nilai tukar masih tetap membayangi.

Tahun ini, bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed diperkirakan tetap dalam jalur kebijakan moneter ketat, meski mungkin tidak seketat 2022. Bloomberg Economics memperkirakan suku bunga acuan AS pada akhir 2023 berada di 5%. Saat ini median Federal Funds Rate adalah 4,3%.

Tren Suku Bunga Global (Sumber: Kemenkeu)

Tidak hanya The Fed, bank sentral lain juga diperkirakan masih cenderung menaikkan suku bunga acuan. Bahkan BI pun sepertinya masih akan menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate tahun ini.

“Dengan latar belakang inflasi yang terkelola dan suku bunga acuan The Fed yang puncaknya di kisaran 5%, kami melihat BI akan menaikkan suku bunga acuan hingga 6% dan mempertahankannya untuk sementara waktu. Kecuali kalau risiko resesi meningkat, yang akan membuat bank sentral bisa menerapkan stance (posisi) yang lebih akomodatif,” papar Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata.

Saat suku bunga meninggi, biaya utang pun akan mengikuti. Pada 2022, rata-rata imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun adalah 7,05%. Di atas asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 yaitu 6,8%.

Untuk 2023, asumsi APBN untuk yield Surat Utang negara (SUN) adalah 7,85%. Artinya, bisa dipastikan beban pembayaran bunga utang akan bertambah.

Pada 2022, penerimaan devisa (yang membiayai pembayaran ULN) sangat terbantu oleh perdagangan internasional yang melonjak. Sepanjang 2022, neraca perdagangan mencatat surplus US$ 54,45 miliar, rekor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia merdeka.

"Perang Rusia-Ukraina berakibat kepada terganggunya rantai pasok global. Namun ini memberikan windfall profit bagi Indonesia yakni kenaikan harga komoditas, seperti batu bara," kata Margo Yuwono, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS).

Perkembangan Harga Komoditas (Sumber: BPS)

Tahun ini, sepertinya harga komoditas mulai stabil, tidak lagi melonjak-lonjak. Penyebabnya adalah risiko penurunan permintaan di tengah ancaman resesi global.

Ini membuat devisa hasil ekspor Indonesia berisiko lebih rendah ketimbang 2022. Bahkan dalam empat bulan terakhir tren penurunan ekspor sudah terlihat.

Neraca Perdagangan Indonesia 2022 (Sumber: BPS)

"(Pertumbuhan ekspor) sepanjang 2022 adalah 26,07% yoy, melambat dibandingkan 2021 yang 41,88%. Perlambatan pertumbuhan ekpsor utamanya disebabkan oleh pelemahan permintaan global akibat peningkatan inflasi yang direspons oleh kebijakan moneter agresif. Penyebab lainnya adalah penurunan harga komoditas," tulis Faisal Rachman, Ekonom Bank Mandiri, dalam laporannya.

Oleh karena itu, Indonesia tentu perlu waspada. Tekanan kenaikan suku bunga dan risiko penurunan pendapatan ekspor dapat mempengaruhi kemampuan Indonesia dalam membayar kewajiban utang.

(aji)

No more pages