Dari sektor energi, dalam kaitan itu, Indonesia berencana mengimpor beberapa komoditas seperti gas minyak cair atau liquified petroleum gas (LPG), bahan bakar minyak (BBM), dan minyak mentah atau crude. Tidak ada rencana untuk membeli LNG.
Selain itu, kata Bahlil, realokasi impor yang direncanakan ke AS adalah untuk beberapa barang modal yang dibutuhkan industri di Tanah Air.
Indonesia, lanjutnya, juga mengundang AS untuk membangun kilang, sebagai bagian dari upaya hilirisasi sektor migas.
“Itu nilainya kurang lebih sekitar US$ 10 miliar. Karena kan kita punya defisit kan sekitar US$ 14,6 miliar [menurut data Badan Pusat Statistik/BPS], tetapi yang diakui oleh AS US$17,9 miliar,” ujarnya.
Pasokan LNG di Indonesia diklaim cukup mumpuni untuk memenuhi kebutuhan domestik, sehingga Bahlil dalam berbagai kesempatan sebelumnya menegaskan tidak dibutuhkan tambahan impor.
Bahkan, Kementerian ESDM berencana memoratorium ekspor komoditas energi superdingin tersebut untuk makin memperkuat suplai di dalam negeri. Terlebih, pada tahun lalu, pasokan LNG ke untuk PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengalami kekurangan sekitar 96 kargo.
“Akan tetapi, sudahlah, jangan kita cerita masa lampau. Biarkanlah LNG yang menjadi kebutuhan PLN menjadi urusan negara. Dan saya pastikan, PLN pasti akan dapat LNG. Dari mana? Itu urusan internal. Nanti saya akan bicara langsung dengan dirut PLN dan saya sudah panggil beliau,” tegasnya dalam konferensi pers kinerja sektor ESDM 2024, Senin (3/2/2025).
“Jadi rakyat Indonesia tenang. LNG akan dapat untuk menyuplai listrik.”
Menurut laporan BMI—lengan riset Fitch Solutions, bagian dari Fitch Group — Indonesia siap menjadi raksasa produsen LNG di Asia Tenggara, seiring dengan adannya potensi tambahan 40 miliar meter kubik atau billion cubic meter (bcm) sumber daya hingga 2030.
BMI menyebut Indonesia kaya dengan proyek gas greenfield yang akan mengerek pasokan gas baku untuk produksi LNG sepanjang 2024—2030.
“Kami memperkirakan sekitar 40 bcm gas alam tambahan akan diproduksi dari proyek-proyek mendatang ini, yang sebagian besar ditujukan untuk memasok gas baku ke pabrik-pabrik LNG yang baru dan yang sudah ada,” papar tim peneliti BMI dalam laporan yang dilansir Selasa (11/12/2024).
Proyek gas enhanced gas recovery (EGR) Ubadari adalah yang paling signifikan di antara proyek-proyek greenfield ini dan diestimasikan mendukung produksi LNG dari proyek Tangguh.
Proyek Ubadari dirancang untuk membuka sekitar 3 triliun kaki kubik atau trillion cubic feet (tcf) sumber daya gas tambahan, dengan potensi produksi 28 bcm gas alam dari Lapangan Ubadari. Gas pertama dari lapangan Ubadari diharapkan onstream pada 2028.
Tidak hanya itu, proyek EGR lainnya di Lapangan Vorwata diperkirakan dapat menghasilkan tambahan 8,5 bcm. Pasokan gas tambahan dari dua proyek EGR ini dapat memperpanjang umur proyek LNG Tangguh.
Rencana Impor
Sri Mulyani akhir pekan lalu mengatakan meskipun Indonesia merupakan negara penghasil minyak dan gas bumi (migas), kapasitas produksinya masih belum mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Dia pun menyebut Pemerintah Indonesia melihat peluang untuk meningkatkan impor energi, khususnya LNG, dari AS.
“Jadi ini semua adalah area di mana kita tentu dapat melakukan outsourcing minyak dan gas dari AS, termasuk produk Boeing dan sebagainya. Ada juga beberapa komoditas serta produk manufaktur di mana kita dapat mempersempit, mengurangi, atau bahkan menghilangkan surplus ini,” jelas Menkeu melalui siaran pers, dikutip Minggu (27/4/2025).
Selain Bendahara Negara, ucapan mengenai rencana untuk mengimpor LNG dari AS juga pernah disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Dia sempat menyebut RI akan merealokasi impor LPG dan LNG ke AS di tengah upaya negosiasi agar produk ekspor Indonesia terhindar dari tarif tambahan oleh Presiden Donald Trump.
“[Melalui] pembicaraan dengan Menteri ESDM [Bahlil Lahadalia], kita—sesuai arahan Presiden [Prabowo Subianto] — kita juga disiapkan untuk membeli LPG dan LNG, peningkatan dari Amerika,” kata Airlangga dalam agenda Sarasehan Ekonomi, Selasa (8/4/2025).
Untuk diketahui, Indonesia mengimpor sekitar 6—7 juta ton LPG per tahun untuk kebutuhan domestik sekira 8 juta ton per tahun. Hal ini menyebabkan beban ekonomi sekitar Rp63,5 triliun per tahun dalam APBN.
Adapun, sumber utama impor LPG Indonesia berasal dari Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, Arab Saudi, Algeria, dan AS.
Sementara itu, untuk LNG, impor dari AS sudah dimulai sejak September 2021 dengan tren volume yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
(wdh)































