Investor kembali menyerbu US Treasury, surat utang Pemerintah AS, usai ada sinyal baru dari Presiden AS Donald Trump bahwa ia akan 'bersikap baik' pada Tiongkok yang diartikan sebagai peluang adanya negosiasi yang positif.
Selain itu, bantahan Trump terkait niat menyingkirkan Gubernur Federal Reserve Jerome Powell juga memberikan kelegaan pada pasar setelah beberapa hari ini diliputi kekhawatiran akan gangguan terhadap independensi The Fed, bank sentral AS yang menjadi otoritas moneter paling berpengaruh di dunia sejauh ini.
Dalam lelang SUN yang digelar kemarin oleh Kementerian Keuangan, penawaran yang masuk juga mencatat kenaikan 25,4% mencapai Rp77,47 triliun.
Investor terindikasi banyak menyerbu SUN bertenor menengah 5 tahun yaitu seri FR0104 mencerminkan aksi defensif di tengah ketidakpastian global yang masih besar kemarin.
Sementara di pasar saham, indikasi kembalinya investor asing berbelanja aset ekuitas di pasar Indonesia juga memberi optimisme.
Asing tercatat mengakhiri periode jual saham terpanjang sejak 2022 selama 9 hari, dengan mencatat net buy tipis Rp176 miliar pada perdagangan hari Selasa.
Rupiah tetap 'memble'
Animo yang membesar di pasar keuangan domestik itu tak seiring dengan tekanan yang masih dihadapi oleh rupiah.
Mata uang Indonesia sejak pembukaan pasar tadi tertekan melemah hingga menyentuh level Rp16.878/US$ di pasar spot, tergulung sentimen kebangkitan indeks dolar AS yang juga melemahkan mayoritas mata uang Asia.
Pengumuman bunga acuan siang nanti, andaipun sesuai konsensus pasar yaitu ditahan di level 5,75%, kemungkinan juga hanya akan memberi kelegaan sementara pada rupiah.
Rupiah telah menjadi satu-satunya mata uang Asia yang melemah terhadap dolar AS sepanjang tahun ini, dengan penurunan nilai mencapai 4,56% di tengah mayoritas valuta di kawasan yang menguat terhadap dolar AS.
Pelemahan rupiah menjadi ironis karena terjadi ketika indeks dolar AS membukukan pelemahan sampai lebih dari 9% sejauh ini dibanding posisi akhir tahun lalu.
Analisis terbaru dari salah satu bank terbesar di Jepang, MUFG, memperkirakan, rupiah potensial makin melemah menembus Rp17.100/US$ dalam beberapa bulan mendatang, seperti dilansir dari Bloomberg News.
Sedangkan Barclays Plc, bank investasi asal Inggris, memperkirakan rupiah berpeluang menguji level Rp17.200/US$ pada kuartal pertama tahun depan di tengah intervensi bank sentral.
Sebagian analis menilai, Bank Indonesia tidak akan membiarkan rupiah menembus Rp17.000/US$.
"Jika rupiah menembus ambang batas itu, potensi kepanikan pasar bisa meningkat yang pada akhirnya bisa memicu arus keluar modal lebih besar dan membawa tekanan lebih lanjut pada nilai tukar," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede.
Kabar buruk IMF
Animo investor yang terlihat makin besar di pasar domestik, diduga didominasi oleh investor lokal baik ritel maupun institusi, seakan mengabaikan kabar buruk terbaru dari lembaga keuangan global, IMF (International Monetary Fund).
Dalam laporan World Economic Outlook terbaru yang diumumkan pada Selasa kemarin, IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 dan 2026.
IMF memperkirakan, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hanya akan tumbuh 4,7% pada tahun ini dan tahun depan.
Proyeksi itu jauh menurun dibandingkan prediksi yang dikeluarkan IMF pada Januari lalu. Kala itu, IMF memperkirakan perekonomian Indonesia masih akan mampu tumbuh 5,1%.
Dengan pelemahan PDB yang kemungkinan hanya tumbuh 4,7%, itu akan menjadi kemerosotan yang cukup dalam setelah pada 2024 Indonesia membukukan laju ekonomi 5%.
Mengeluarkan periode resesi perekonomian akibat terjadinya pandemi pada 2020-2021, bila prediksi itu terealisasi maka akan menjadi pertumbuhan ekonomi Indonesia terendah sejak 2009 lalu.
Bukan cuma itu, IMF juga memperkirakan tingkat pengangguran RI pada tahun ini dan dan tahun depan akan merangkak semakin tinggi mencapai masing-masing 5% dan 5,1%, setelah pada 2024 angkanya sebesar 4,9%.
Secara umum, pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara yang melibatkan negara-negara ASEAN-5, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura, diperkirakan hanya tumbuh 3,6% pada 2025 ini dan 4,3% pada 2026. Angka proyeksi itu turun dibanding perkiraan sebelumnya sebesar 4,7%.
Sementara dalam konteks global, IMF memperkirakan dampak perang dagang membuat perekonomian dunia tahun ini kemungkinan hanya akan tumbuh 2,8%, lebih rendah ketimbang prediksi sebelumnya di angka 3,3%.
(rui)



























