Lalu, BI perlu memperhatikan puncak pembayaran utang pemerintah yang jatuh tempo dan rentan menurunkan cadangan devisa. Bhima menyebut, di tiga bulan yang paling krusial terkait kebutuhan pembayaran utang jatuh tempo yakni bulan Juni sebesar Rp178,9 triliun, Agustus Rp105,3 triliun, dan Oktober Rp100,7 triliun.
"Berlanjutnya ketidakpastian perang tarif ikut menambah kekhawatiran tekanan kurs di banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Sentimen batalnya investasi LG di ekosistem baterai Indonesia ikut menambah tekanan terhadap realisasi investasi langsung," pungkasnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Prof Telisa Aulia Falianty. Menurutnya BI akan tetap mempertahankan suku bunga acuan di angka 5,75%. Kata dia, peluang BI menurunkan suku bunga acuan tetap ada, karena inflasi tercatat rendah.
"Saya pandangannya masih tetap 5.75%. Peluang menurunkan ada, karena inflasi rendah dan pertumbuhan ekonomi bisa di bawah 5. Tapi rupiah belum stabil," katanya kepada Bloomberg Technoz.
Tetapi, peluang BI menurunkan suku bunga tersebut terhalang keadaan rupiah yang belum stabil. Tak hanya itu, kondisi risk dari capital outlow yang masih tinggi juga turut menghalangi peluang penurunan suku bunga acuan.
"Risiko dari arus keluar modal asing atau capital outlow masih tinggi. Apalagi kalau tarif naik, rupiah melemah, ancamannya inflasi bisa naik," pungkasnya.
Catatan: Artikel sebelumnya dikoreksi untuk memperbaiki tingkat bunga acuan di judul berita.
(lav)

































