Logo Bloomberg Technoz

Israel, dengan dukungan AS, ingin memperpanjang fase awal perjanjian gencatan senjata yang disepakati pada Januari oleh Mesir, Qatar, dan AS. Sementara itu, Hamas bersikeras bahwa negosiasi harus berlanjut ke fase kedua yang membahas penghentian perang secara permanen.

Sebagai akibat dari kebuntuan ini, Israel menghentikan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Keputusan ini menuai kecaman dari para mediator Arab, termasuk Arab Saudi, yang kini berupaya menghimpun dukungan negara-negara kawasan terhadap rencana rekonstruksi Gaza sebagai alternatif dari usulan Trump.

Saat berkunjung ke Washington bulan lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mendengar langsung pernyataan Trump yang menyebut bahwa AS seharusnya mengambil alih Gaza, merelokasi warga Palestina, dan mengubah wilayah itu menjadi resor wisata. Pernyataan ini memicu reaksi keras di Timur Tengah dan berbagai belahan dunia lainnya.

Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdelatty, menegaskan bahwa "tidak ada alternatif lain selain implementasi penuh dan tulus oleh masing-masing pihak" terhadap perjanjian gencatan senjata Januari. Ia memperingatkan bahwa kembalinya perang akan menggagalkan semua upaya perencanaan bagi masa depan Gaza pasca-konflik.

"Mempertahankan gencatan senjata adalah hal yang paling penting," katanya dalam konferensi pers di Kairo bersama Komisaris Uni Eropa untuk Mediterania, Dubravka Suica. "Ini benar-benar krusial."

Sejak perang Israel-Hamas pecah pada Oktober 2023, lebih dari 48.000 warga Palestina telah tewas, menurut otoritas kesehatan Gaza. Sebagian besar wilayah Gaza kini hancur, dengan biaya rekonstruksi diperkirakan mencapai US$50 miliar. Israel melancarkan serangan ke Gaza setelah Hamas menyerang Israel, menewaskan 1.200 orang, dan menculik 250 lainnya.

Truk bantuan kemanusiaan tiba di Rafah, Gaza, Rabu(22/1/2025). (Ahmad Salem/Bloomberg)

Menyusun Rincian Rencana Rekonstruksi

Abdelatty menyebut bahwa rencana rekonstruksi Gaza yang disebut sebagai "inisiatif Mesir-Arab-Islam" akan diajukan kepada para pemimpin Arab di Kairo untuk mendapat dukungan luas. Setelah itu, pembahasan lebih rinci akan dilakukan dalam pertemuan tingkat menteri di Arab Saudi, yang melibatkan perwakilan negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Iran, Malaysia, dan Turki.

Langkah berikutnya adalah perjalanan diplomatik ke berbagai ibu kota dunia untuk "menjelaskan rencana ini dan menggalang dukungan," termasuk melakukan "konsultasi ekstensif dengan negara-negara donor utama," kata Abdelatty.

Meskipun Abdelatty tidak mengungkapkan detail rencana sebelum konferensi di Kairo, beberapa sumber yang mengetahui dokumen tersebut mengatakan bahwa rencana itu mencakup pembangunan hunian sementara bagi warga Palestina, sembari proses pembersihan puing-puing dilakukan secara besar-besaran.

Hamas tidak akan terlibat dalam urusan pemerintahan Gaza sehari-hari, kata para sumber. Sebagai gantinya, sebuah komite yang terdiri dari tokoh-tokoh lokal dan pejabat Arab akan mengelola wilayah tersebut. Namun, rencana ini belum secara eksplisit menjelaskan bagaimana Hamas akan disingkirkan dan dilucuti senjatanya, sesuatu yang menjadi prasyarat bagi Israel serta kemungkinan besar bagi AS dan Uni Eropa.

"Soal Hamas, kami sudah jelas: Hamas bukan pihak yang bisa kami ajak bernegosiasi," ujar Šuica dari Uni Eropa.

Arab Saudi mendukung penghapusan kepemimpinan politik dan militer garis keras Hamas dari Gaza, tetapi menganggap penting untuk tetap berinteraksi dengan elemen moderat dalam kelompok tersebut, kata dua sumber yang mengetahui situasi ini.

Di sisi lain, Uni Emirat Arab (UEA) mengadopsi sikap yang lebih keras. Menurut sumber yang sama, UEA menginginkan perombakan total Otoritas Palestina yang berbasis di Tepi Barat sebelum bersedia mengalokasikan dana untuk rekonstruksi Gaza.

Hingga berita ini ditulis, pejabat Mesir, Saudi, dan UEA belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar terkait isu ini.

Salah satu tantangan lain bagi rencana ini adalah sikap negara-negara Teluk yang berulang kali menegaskan bahwa mereka tidak akan mendanai rekonstruksi Gaza tanpa adanya komitmen dan jalur yang jelas menuju pembentukan negara Palestina, sesuatu yang ditolak oleh Israel. Belum jelas di mana posisi Trump dalam isu ini.

Ibrahim Saif, mantan menteri Yordania yang mengetahui diskusi menjelang KTT, mengatakan bahwa rencana ini memiliki peluang berhasil jika mampu mengakomodasi kekhawatiran keamanan Israel serta didukung oleh negara-negara sekutu utama AS yang terlibat, yaitu Mesir, Yordania, Qatar, Arab Saudi, dan UEA.

"Jika lima negara ini bersatu dan bertahan dengan sikap mereka, maka Trump tidak bisa begitu saja menolaknya," kata Saif.

(bbn)

No more pages