Logo Bloomberg Technoz

"Kami memperkirakan penurunan penjualan mobil secara nasional sebesar 4,1% menjadi 825.000 mobil pada tahun depan," kata Satria Sambijantoro, Head of Research Bahana Sekuritas dalam catatannya, hari ini.

Pajak opsen berpotensi mengerek harga mobil serta sepeda motor yang harus dibayarkan oleh konsumen ketika membeli maupun saat membayar pajak tahunan.

Sebagaimana diketahui, agar mobil atau motor laik jalan, maka konsumen perlu membayar berbagai biaya dokumen dan perpajakan supaya kendaraan tersebut bisa dikendarai di jalan. Berbagai biaya termasuk perpajakan itu biasanya sudah dimasukkan dalam apa yang disebut harga on the road (OTR).

Secara umum rumus harga OTR terdiri atas penjumlahan NJKB (Nilai Jual Kendaraan Bermotor) yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Lalu ditambahkan beban PPnBM (PPn Barang Mewah), BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor), dan PPn (Pajak Pertambahan Nilai). Kemudian ada juga biaya penerbitan dokumen serta pembayaran SWDKLLK (Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan). 

Besar biaya-biaya itu berbeda-beda di tiap daerah karena kebijakan pajak di tiap daerah yang juga tidak sama. Selain itu, lokasi penjualan juga menentukan. Makin dekat dengan pabrik pembuatan, harga kendaraan bisa lebih murah, begitu juga sebaliknya. 

Nah, aturan baru terkait pajak opsen akan menambah panjang beban pajak yang harus dibayarkan oleh konsumen ataupun pemilik kendaraan. Pajak opsen diatur dalam Undang-Undang (UU) No 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), akan mulai berlaku pada 5 Januari 2025. 

Bila sebuah daerah mengenakan pajak opsen, maka akan ada tambahan biaya yang harus dibayarkan oleh pembeli mobil atau sepeda motor selain di harga OTR yang selama ini sudah banyak diketahui konsumen.

Pajak opsen berlaku baik untuk mobil maupun motor mulai tahun depan (Muhammad Fadli/Bloomberg)

Tidak semua daerah mengenakan pajak opsen. DKI Jakarta memutuskan tidak mengenakan opsen akan tetapi mengerek tarif pajak kendaraan lainnya.

Tarif BBNKB di Ibukota dinaikkan dari 10% menjadi 12,5% mulai tahun ini. Sementara tarif PKB tetap dibanderol mulai 2% untuk mobil pertama, naik bertingkat hingga 6% untuk mobil kelima dan seterusnya.

Akan tetapi, meski opsen tidak berlaku di DKI Jakarta, kenaikan BBNKB menjadi 12,5% diperkirakan tetap akan mengerek harga mobil maupun sepeda motor OTR sekitar 2,5% dari harga semula, menurut perkiraan Bahana Sekuritas.

Sementara di provinsi lain di Pulau Jawa, kebanyakan bakal memberlakukan pajak opsen yang akan berdampak pada harga beli mobil maupun sepeda motor di daerah tersebut.

Penting dicatat, penjualan mobil di Jawa menjadi kontributor terbesar penjualan mobil secara nasional dengan sumbangan mencapai 60% untuk kendaraan roda empat dan lebih dari 50% untuk kendaraan roda dua.

Lantas, berapa besar kenaikan harga mobil bila pajak opsen dikenakan?

"Provinsi-provinsi utama di Pulau Jawa akan mengalami kenaikan harga mobil dan motor OTR antara 4%-7%, serta kenaikan pajak kendaraan tahunan hingga 33%," kata Satria. 

Mari mengambil simulasi pembelian mobil di Jawa Timur. Provinsi ini menetapkan tarif PKB sebesar 1,2%, turun dari tadinya 1,5%. Lalu, tarif BBNKB diturunkan jadi 12% dari semula 12,5%.

"Apabila dikenakan tambahan pajak opsen sebesar 66% maka PKB tahunan akan naik sebesar 33%, dan tambahan pajak BBNKB akan menaikkan harga OTR sebesar 7,4%," jelas Satria.

Alhasil, bila harga mobil OTR semula dibanderol seharga Rp400 juta di Surabaya, maka akibat pengenaan pajak opsen mulai Januari nanti, maka harga yang harus ditebus oleh pembeli menjadi sebesar Rp429.600.000, lebih mahal hampir Rp30 juta untuk satu unit mobil.

Untuk simulasi pembelian mobil dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) sebesar Rp222.000.000, misalnya, harga OTR diperkirakan sebagai berikut:

  • BBNKB 12%= Rp26.640.000
  • PPnBM 15%= Rp33.300.000
  • SWDKLLJ= Rp150.000
  • Biaya administrasi dan TNKB= Rp100.000
  • Bea administrasi dan penerbitan STNK= Rp250.000 

Sehingga, harga OTR mobil adalah sebesar Rp282.440.000. Nah, dengan aturan baru pajak opsen, akan ditagihkan jumlah pajak terutang dengan perhitungan tarif 66% dikalikan dengan BBNKB. Berdasarkan simulasi di atas, maka opsen BBNKB yang harus dibayarkan oleh konsumen adalah sebesar Rp17.582.400.

Dengan demikian, total harga pembelian mobil OTR yang harus ditebus oleh pembeli mobil setelah pengenaan opsen pajak adalah Rp300.022.400, naik 6,22% dibanding harga sebelum ada ketentuan opsen pajak.

Di Jawa Tengah, melalui Perda Nomor 12 Tahun 2023, tarif PKB diturunkan menjadi 1,05% dari 1,5%, lalu BBNKB menjadi 10%, dari semula 12,5%. Bila terjadi tambahan pajak opsen sebesar 66%, maka PKB tahunan rata-rata akan naik sebesar 16%, dan biaya tambahan pajak BBNKB akan menaikkan harga OTR sebesar 4,1%.

Di Jawa Barat, berdasarkan Perda Nomor 9 Tahun 2023, tarif PKB diturunkan menjadi 1,12% dari 1,2%. Kemudian, BBNKB juga turun jadi 12%, dari tadinya 12,5%. 

Provinsi ini belum memutuskan apakah akan mengenakan pajak opsen atau tidak. Namun, hitungan ekonom, dalam skenario terburuk berupa biaya tambahan pajak opsen sebesar 66%, PKB tahunan bisa terdampak kenaikan sebesar 6% dan biaya tambahan pajak BBNKB akan meningkatkan harga OTR sebesar 7,4%.

BBNKB akan menjadi penerimaan Pemerintah Provinsi, sementara opsen menjadi penerimaan Kabupaten/Kota. 

Penjualan Lesu

Penjualan mobil dan sepeda motor di Indonesia sepanjang tahun ini masih muram akibat kelesuan daya beli masyarakat yang mengerem minat akan pembelian durable goods termasuk kendaraan bermotor.

Pada Oktober lalu, penjualan mobil turun 3,9% year-on-year yakni sebesar 77.191 unit. Penurunan angka penjualan mobil pada Oktober menjadi kontraksi beruntun secara tahunan yang telah berlangsung sejak April. 

Namun, secara bulanan, penjualan mobil pada Oktober masih bertumbuh 6,2% setelah bulan sebelumnya terkontraksi 4,8%.

Sementara sepeda motor membukukan kinerja lebih baik pada Oktober. Secara bulanan, penjualan sepeda motor masih mencatat kenaikan 3%, dan secara tahunan tumbuh 5%.

Kelesuan kinerja penjualan kendaraan bermotor secara umum setahun terakhir, juga telah mendorong industri memangkas target penjualan mobil tahun ini.

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memangkas target penjualan 1,1 juta unit menjadi 850.000 unit saja pada 2024. Mengacu pada situs Gaikindo, penurunan target penjualan tersebut dapat berdampak negatif di sisi hulu ataupun hilir otomotif sekitar Rp10,6 triliun.

Pengunjung melihat mobil yang dipamerkan dalam ajang GIIAS 2024 di ICE BSD, Sabtu (27/7/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Dalam pernyataan terakhir dilansir dari media lokal, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan, Pemerintah RI berencana memperluas pemberian insentif pajak berupa Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) dan PPnBM, bukan hanya untuk mobil listrik tapi juga untuk mobil konvensional maupun hibrida.

Namun, kapan kebijakan itu akan diberlakukan, masih belum ada kejelasan. Sementara pembebasan PPnBM selama ini diberikan pada mobil listrik impor (BEV). Itu menjadi tambahan insentif kesekian setelah sebelumnya telah mendapatkan pembebasan bea masuk impor untuk BEV. 

Awal pekan ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, Pemerintah RI sedang mematangkan paket insentif fiskal berupa PPnBM termasuk untuk sektor otomotif, PPN sektor perumahan, serta insentif ketenagakerjaan.

Namun, ia tidak menyebutkan insentif yang diberikan sama atau berbeda dengan yang sudah dilaksanakan sebelumnya.

"Beberapa hal terkait fiskal yang coba dimatangkan, tahun ini kan ada PPnBM untuk otomotif, dan PPN untuk perumahan, ini lagi dimatangkan, seminggu ini kita umumkan untuk tahun depan," kata Airlangga.

Bank Danamon sebelumnya merilis riset seputar prospek industri otomotif. Menurut riset tersebut, sektor otomotif Tanah Air menghadapi tantangan besar, selain pasar yang lesu. Tantangan itu terkait perpajakan.

Mulai tahun depan, pemerintah akan menaikkan tarif jadi 12% juga akan mendera sektor otomotif makin berat.

"Setiap 1% kenaikan pajak bisa menurunkan penjualan sekitar 10%, Kenaikan pajak-pajak lainya bisa memperburuk situasi," demikian ditulis oleh riset Danamon.

Kelas menengah makin 'rontok'

Ekonom Bahana menambahkan, kebijakan pajak opsen di tengah rencana kenaikan PPN jadi 12% yang hampir pasti mulai 1 Januari nanti, akan membawa dampak lebih parah dibanding tahun 2022 lalu di kala PPN pertama kali naik dari 10% menjadi 11%.

"Jika kenaikan PPN jadi 12% diterapkan, itu mungkin akan memicu risiko kerugian lebih besar dibanding tahun 2022 karena tidak ada belanja pemulihan [daya beli] untuk mengimbangi daya belinya," kata Satria.

Dampak kenaikan PPN terhadap penyusutan kelas menengah serta penurunan porsi pengeluaran rumah tangga untuk kendaraan, akan makin besar. Data BPS mencatat, dalam lima tahun terakhir, jumlah kelas menengah turun dari 21,45% pada 2019 menjadi 17,13% atau sekitar 9,5 juta orang turun kelas jadi Aspiring Middle Class. 

Pada periode yang sama, belanja kendaraan kelas menengah pangsanya juga menurun dari 5,63% menjadi 3,99%. Sementara pangsa pajak meningkat dari 3,48% menjadi 4,57%.

Dengan tambahan pajak baru, kondisi keuangan kelas menengah bisa semakin tertekan, termasuk belanja kendaraan kelas ekonomi ini. Padahal kelas menengah di Indonesia menyumbang konsumsi nasional sebesar 38,28%, salah satu yang terbesar setelah sumbangan konsumsi kelompok calon kelas menengah sebesar 43,21%.

Bila ditotal, kelompok tengah ini menyumbang 81.5% total konsumsi nasional. Dengan demikian, bila terjadi tekanan atau guncangan daya beli yang mengerosi konsumsi kelompok ini, dampaknya akan besar bagi perekonomian RI keseluruhan.

-- update pada perincian tarif di tiap provinsi dan simulasi pengenaan opsen pajak.

(rui/aji)

No more pages