Logo Bloomberg Technoz


“Sektor ketenagalistrikan menghasilkan 42% total emisi India,” kata Ram dalam sebuah wawancara, dikutip Bloomberg. “Kami memperkirakan 70% dari karbon tersebut dapat ditangkap dan didaur ulang melalui penangkapan karbon.”

Untuk memenuhi puncak permintaan yang makin tinggi dan menghindari pemadaman listrik, penerapan energi terbarukan secara agresif tidaklah cukup, kata Ram.

“Jika tidak ada penyimpanan [karbon], Anda perlu menambahkan setidaknya jumlah kapasitas termal yang sama. Kami memiliki batu bara yang melimpah dan kami ingin menggunakannya secara berkelanjutan.”

Teknologi Belum Terbukti

Sebagian besar skenario iklim menganggap skenario penghilangan karbon penting untuk mengekang perubahan iklim, tetapi teknologinya masih dalam tahap awal, dan sebagian besar proyek CCS terbukti tidak dapat dilaksanakan karena biaya tinggi dan efisiensi rendah.

Menurut catatan International Energy Agency (IEA), sekitar 40 unit CCS saat ini sudah beroperasi secara global. Sebanyak 50 unit lainnya diperkirakan mulai beroperasi pada 2030.

India sebelumnya sudah menjajaki gasifikasi batu bara dan menyisihkan subsidi sebesar 85 miliar rupee (US$1 miliar) untuk membantu proyek CCS tersebut berjalan.

Teknologi tahap awal, yang mengubah batu bara menjadi gas untuk menghasilkan listrik, menghasilkan emisi yang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pembakaran batu bara konvensional.

Anak-anak sekolah dan wisatawan mengunjungi Gerbang India saat kabut polusi tebal di New Delhi, India, Sabtu (4/11/2023). (Prakash Singh/Bloomberg)

Kebijakan di Indonesia

Di Indonesia, proyek gasifikasi batu bara untuk membuat sektor tersebut lebih ramah lingkungan masih terkatung-katung. Akan tetapi, negara ini sudah membuat progres selangkah lebih maju dari India dalam hal penerbitan regulasi CCS atau gudang karbon.

Pemerintah akhir bulan lalu resmi menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.

Beleid yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 30 Januari itu resmi mengkomersialisasikan CCS/CCUS selain di wilayah kerja hulu migas, melainkan juga di industri seperti besi baja, kaca, hingga smelter.

Selain itu, menyitir Pasal 45 ayat (1), industri tersebut juga dapat mengkomersialisasikan fasilitas ‘gudang karbon’ RI ke luar negeri berdasarkan skema bisnis antarpemerintah terlebih dahulu atau secara government to government (G-to-G).

Meski sudah ada aturannya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjabarkan Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan dalam menarik investasi CCS, yang rencananya bakal difokuskan ke industri migas nasional.

Dalam kaitan itu, Dirjen Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan Indonesia sebenarnya memiliki kapasitas penyimpanan karbon yang lebih dari cukup,  hanya saja permasalahannya terletak pada teknologi injeksi karbon yang digunakan.

Storage-nya oke, tetapi fasilitas injeksinya untuk memisahkan gas dari CO2. Itu mahal; 75% dari cost CCS adalah soal capturing. Kedua ada di transportasi, terus diinjeksikan. Nah, yang transportasi enggak begitu mahal, tetapi injeksinya yang mahal,” ujarnya saat ditemui, baru-baru ini.

Negara penghasil karbondioksida di Asia Tenggara (Sumber: Bloomberg)

Tantangan CCS di Indonesia

Tutuka mengelaborasi injeksi karbon ke tanah sangat berisiko tinggi apabila dilakukan ke lapangan-lapangan migas tua. Jika menggunakan sumur eksisting yang sudah tua, risiko kebocorannya akan lebih tinggi.

“Karena injeksi CO2 itu kan asam. Kalau ketemu air, dia akan korosif. Susahnya di situ,” terang Tutuka.

Terkait dengan klaim bahwa kapasitas tampung karbon Indonesia mencapai 400 gigaton, Tutuka menyebut angka tersebut baru prakiraan yang baru bisa dibuktikan setelah karbon diinjeksikan.

“Nanti akan dilakukan injeksi, kemudian dilakukan simulasi dinamik, baru kita tahu, baru diinjeksikan. Jadi ternyata di praktik [CCS] dunia ini sudah diinjeksikan dia akan meluas ke sana. Saat ini baru sampai situ. Untuk saat ini yang kita hitung adalah perhitungan statik, dengan practice ke industri yang sudah ada. Jadi yang 400 gigaton tadi kan saline acquifer sebenarnya, kalau yang depleted kan 4,3 gigaton. Artinya, lapangan eksisting yang sudah ada saat ini, kalau dipakai untuk CCS, diinjeksikan ke reservoir, itu [kapasitasnya] sekitar 4,3 gigaton.”

Memahami CCS

Untuk diketahui, menurut penjelasan Kementerian ESDM, CCS/CCUS salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) ke atmosfer.

“Teknologi ini merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan [capture] CO2 dari sumber emisi gas buang [flue gas], pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan [transportation], dan penyimpanan ke tempat yang aman [storage],” papar kementerian melalui laman resminya.

Fasilitas penangkapan dan penyimpanan karbon langsung Climeworks AG Orca./Bloomberg-Arnaldur Halldorsson

Pemisahan dan penangkapan CO2 dilakukan melalui teknologi absorpsi yang lazim digunakan oleh industri. Sebab, penangkapan CO2 selama ini sudah banyak dilakukan dalam proses produksi hidrogen, baik skala laboratorium maupun komersial.

Adapun, proses pengangkutan karbon dilakukan melalui pipa atau tanker layaknya pengangkutan gas pada umumnya.

Di sisi lain, penyimpanan karbon dilakukan dengan menginjeksi CO2 ke dalam lapisan batuan di bawah permukaan bumi atau akuifer. Lapisan akuifer ini menjadi ‘perangkap gas’ untuk mencegahnya lepas ke atmosfer. Penyimpanan juga dapat dilakukan dengan menginjeksikan karbon ke dalam laut pada kedalaman tertentu. 

Implementasi CCS/CCUS di sektor hulu migas sudah diatur pemerintah dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 2/2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, Serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Beleid tersebut mengatur bahwa perusahaan migas yang mengoperasikan CCS/CCUS harus menyesuaikannya dalam rencana pengembangan atau plan of development (POD) di wilayah kerjanya. Bagi perusahaan nonmigas, POD-nya juga harus mencantumkan bahwa sumber CCS/CCUS yang dikelolanya berasal dari luar sektor migas.

-- Dengan asistensi Sultan Ibnu Affan

(wdh)

No more pages