Logo Bloomberg Technoz

Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK Sarat Konflik Kepentingan

Sultan Ibnu Affan
26 May 2023 14:30
Gedung Mahkamah Konstitusi. (Dok. Mahkamah Konstitusi)
Gedung Mahkamah Konstitusi. (Dok. Mahkamah Konstitusi)

Bloomberg Technoz, Jakarta - Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang cukup mengejutkan. Lembaga penguji konstitusi itu mengabulkan gugatan uji materi Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron terhadap Undang Undang KPK. Dia menggugat soal persyaratan umur agar bisa kembali mendaftarkan diri menjadi calon pimpinan KPK periode berikutnya lantaran di UU KPK hasil revisi minimal syarat usia adalah 50 tahun. Padahal Ghufron belum memasuki usia itu.

Namun yang menarik, ternyata selain pasal tersebut, Ghufron juga mengajukan gugatan materi atas masa jabatan pimpinan KPK. Hal ini juga dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Masa jabatan yang awalnya 4 tahun akan menjadi 5 tahun. Artinya bila putusan ini berlaku surut maka masa jabatan Firli Cs yang sedianya akan berakhir pada Desember 2023 akan lanjut hingga akhir 2024.

Ghufron mengajukan uji materi atas Pasal 34 Undang Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK telah melanggar Undang Undang Dasar (UUD) 1945 sehingga dianggap inkonstitusional. Hal ini dikabulkan MK.

"Inkonstitusional (Pasal 34) sepanjang tak dimaknai masa jabatan selama 5 tahun untuk diperpanjang satu kali," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan, Kamis (25/5/2023).

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah mengatakan, MK memahami Pasal 34 UU KPK adalah kebijakan hukum atau open legal policy yang mekanisme pengubahannya harus dikembalikan pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah. Akan tetapi pada gugatan ini, MK menilai prinsip tersebut bisa dikesampingkan karena beleid tersebut bertentangan dengan moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang tak dapat ditolerir.

"Perkara a quo (Pasal 34) tak bisa diserahkan penentuannya kepada pembentuk undang undang," kata dia.

"Karena sangat tampak perlakuan tak adil (kepada pimpinan KPK)," imbunya.

Namun yang menarik, dalam putusan MK tersebut tidak disebutkan jikalau putusan ini langsung berlaku atau berlaku surut atau baru berlaku untuk jabatan berikutnya. Dengan demikian tidak ada penegasan bahwa putusan berlaku pada masa pimpinan Firli Bahuri Cs saat ini.

Mantan Ketua KPK Abraham Samad mengamati tiga hal yang menurutnya ganjil. Pertama, putusan MK ini adalah judicial review yang amat cepat diputuskan seolah-olah Nurul Ghufron memiliki hak istimewa alias privilege

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron (Tangkapan layar Instagram KPK)

Yang kedua, uji materi yang diajukan Ghufron awalnya adalah gugatan terhadap syarat usia namun kemudian merembet ke revisi masa jabatan. Menurut dia kalau memang ingin uji materi soal masa jabatan maka yang mengajukan adalah lembaga KPK bukan pribadi sehingga tak ada conflict of interest 'konflik kepentingan'.

"Kalau kita melihat dari dua alasan gugatan yang diajukan Nurul, baik itu batas (usia) minimal pimpinan KPK dan masa jabatan semuanya itu adalah gugatan yang berkaitan dengan kepentingan pribadi Nurul Ghufron. Bukan untuk kepentingan lembaga atau bukan untuk kepentingan pemberantasan korupsi," kata Abraham Samad dihubungi Kamis malam (25/5/2023).

"Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa gugatan itu mengandung yang namanya conflict of interest. Kalau gugatan itu bersifat conflict of interest maka seharusnya, idealnya, MK ini menolak," lanjut dia.

Keganjilan yang ketiga adalah MK tak menjelaskan bahwa putusan ini berlaku surut. Oleh karena itu menurut dia maka bisa juga dipahami putusan ini tak wajib untuk sekarang dan baru akan berlaku untuk masa jabatan pimpinan berikutnya.

"Tapi tadi kalau kita lihat, putusan itu kan tidak ditegaskan oleh MK. Dia cuma bilang 5 tahun. Harusnya dia tegaskan itu," kata dia.

Mantan pimpinan KPK melakukan aksi tolak #KPKDikorupsi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (10/4/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)

Sementara Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto mengatakan, MK memang tidak konsisten dengan putusannya. Pada dasarnya, memang masa jabatan pimpinan di komisi dan lembaga negara bisa berbeda-beda apalagi dengan adanya label independen.

"Ini agak aneh, kalau kemudian (putusan) MK mengatur sampai batas waktu periodisasi itu. Jadi inkonstitusional, tidak adil. Jadi menurut saya, inkonsisten saja MK ini. Mungkin nanti jadinya lembaga-lembaga independen lain pasti akan minta juga untuk disamaratakan karena dianggap tidak melanggar konstitusi," kata Agus dihubungi Jumat pagi (26/5/2023).

Kemudian dengan tidak diterakannya putusan yang berlaku surut menurut ICW maka panitia seleksi (pansel) KPK yang dibentuk pemerintah bisa terus lanjut. 

"Makanya menurut saya, MK dan putusannya apakah (putusan) itu berlaku surut atau tidak, lebih baik diberikan ke (periodisasi KPK) ke depan saja. Maksudnya pemerintah menafsirkan (putusan MK) itu ke depan saja. Yang KPK sekarang selesaikan saja," ujar dia. 

Lalu perihal pertimbangan MK soal diskriminatif dan tak adil kembali ditanggapi Abraham Samad. Dia menjelaskan filosofi dan dasar masa jabatan empat tahun pimpinan KPK.

Pertimbangannya kata dia dalah bahwa KPK adalah lembaga penegak hukum yang independen bukan masuk dalam eksekutif, yudikatif dan legislatif. Dengan demikian salah satu ciri khasnya adalah masa jabatan memang karena itu tak disamakan dengan lembaga lain. Banyak ciri khas di KPK namun hal tersebut salah satunya. Oleh karena itu alasan dan pertimbangan diskriminatif dari hakim MK menurutnya kurang pas.

"Jadi bukan jadi dia (KPK) ikut-ikut, dia seharusnya menjadi role model dan diikuti oleh lembaga-lembaga lain. Kalau gini kan dia enggak jadi role model, justru dia nyari contoh," kata Samad.

(ezr)