Logo Bloomberg Technoz

BI Pilih Tahan Bunga Demi Rupiah, Ekonomi RI Bisa Makin Lambat

Ruisa Khoiriyah
26 May 2023 11:30
Pedagang melayani pembeli sayur di Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (18/4/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)
Pedagang melayani pembeli sayur di Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (18/4/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)

Bloomberg Technoz, Jakarta - Keputusan Bank Indonesia (BI) mempertahankan bunga acuan di level 5,75% untuk keempat kali berturut-turut kendati laju inflasi Indonesia sudah cukup rendah bisa melukai perekonomian yang sejauh ini sudah melambat dampak dari pengetatan moneter sejak tahun lalu ditambah suramnya permintaan perekonomian global.

BI terang-terangan memilih menjaga nilai tukar rupiah yang masih dibayangi ketidakpastian pasar keuangan global karena prediksi arah bunga acuan bank sentral Amerika (AS), Federal Reserve, yang sejauh ini masih menjadi pertanyaan. 

“Yang menjadi isu adalah ketidakpastian di pasar keuangan global yang masih berlanjut. Sehingga fokusnya adalah stabilisasi rupiah supaya imported inflation tetap rendah dan dampak rambatan dari ketidakpastian pasar keuangan bisa dimitigasi,” jelas Perry Warjiyo, Gubernur BI ketika mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur, Kamis (25/5/2023).

Akan tetapi, keputusan BI yang memilih stabilisasi nilai tukar di tengah perekonomian yang sudah menunjukkan perlambatan, bisa berdampak tak kecil.

Pertumbuhan ekonomi bisa terpukul tahun ini bahkan terjebak di batas bawah perkiraan bank sentral sendiri. "Pertumbuhan ekonomi bisa jeblok ke bawah di level 4,5%," kata Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas, Jumat pagi (26/5/2023).

Tanda perlambatan kian terang

Sejumlah indikator moneter dan perbankan sejauh ini telah menunjukkan perlambatan signifikan dan terkontraksi (tumbuh negatif) sebagai akibat dari kebijakan pengetatan moneter bank sentral sejak Agustus 2022. 

Kinerja penyaluran kredit perbankan yang terperosok ke level terendah sejak Maret 2022. BI melaporkan, pada April lalu kredit perbankan hanya mampu tumbuh 8,08%, melambat dibanding Maret yang masih 9,93%. Semua jenis kredit menurun pertumbuhannya pada April lalu. 

Laju pertumbuhan kredit perbankan semakin melambat ke level terendah 12 bulan (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Pinjaman modal kerja mengalami penurunan yang paling besar menjadi 6,6% , yang selanjutnya diikuti oleh kredit konsumsi menjadi 8,7%. Sedangkan kredit investasi bertahan di level dua digit 10,1%.

Itu tidak bisa dilepaskan dari dua hal yaitu dampak pengetatan moneter dan suramnya permintaan baik di ranah domestik maupun global terimbas perlambatan ekonomi dunia yang mempengaruhi appetite korporasi dalam mengajukan kredit baru ke perbankan. "Bila kondisi ini berlanjut, ada potensi BI akan gagal mencapai target pertumbuhan kredit tahun ini yang ditetapkan 10%-12%," kata Lionel.

Tabungan masyarakat habis?

Selain itu, indikator perlambatan lain yang mencemaskan adalah dari sisi perlambatan pertumbuhan nilai transaksi non-tunai melalui ATM, digital, kartu kredit maupun debit.

"Awalnya kami menduga penurunan itu disebabkan oleh efek musiman Lebaran. Akan tetapi, kontraksi jumlah uang kas yang beredar menunjukkan perlambatan transaksi terjadi secara umum. Ini adalah sinyal perlambatan ekonomi Indonesia," tandas Lionel. "Transaksi masyarakat lemah karena tabungan semakin menipis."

Baca juga: Nilai Transaksi Masyarakat di Bank Anjlok Rp1.099 Triliun Selama April, Ada Apa? 

Dengan perkembangan terakhir itu, akan sulit bagi konsumsi rumah tangga untuk bangkit dan menopang pertumbuhan ekonomi tahun ini. "Agak berat bagi konsumsi domestik untuk bangkit karena masyarakat juga perlu perlu mengisi tabungan yang terkuras selama pandemi Covid-19," imbuh analis.

Optimisme BI juga pupus

BI sendiri juga memupus optimisme pertumbuhan ekonomi tahun ini bakal ke kisaran atas target. Bank sentral memperkirakan, perekonomian Indonesia tahun ini akan mencatat pertumbuhan di kisaran 4,5%-5,3%, dan menghapus kalimat "bias ke atas" sebagaimana selalu dinyatakan sejak awal tahun, menyusul masih lemahnya beberapa sektor penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB).

Secara gamblang, BI menyatakan kini tengah memantau secara detil perkembangan laju pertumbuhan investasi domestik. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal 1 lalu, laju investasi (PMTB) mencatat penurunan hingga 3,72% meski masih mampu tumbuh 2,11% year-on-year. 

“Investasi masih bagus, tapi kalau kita pecah lagi [detilnya], investasi bangunan [konstruksi] masih rendah. Kami masih pantau apakah akan tetap rendah seperti kuartal 1 atau akan terjadi pembalikan khususnya di investasi bangunan, konstruksi, real estate,” terang Perry.

Pertumbuhan ekonomi domestik menghadapi tantangan perlambatan (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Dari tujuh komponen penyumbang pertumbuhan ekonomi menurut pengeluaran, hanya satu komponen saja yang mampu tumbuh positif pada kuartal 1 lalu, yaitu konsumsi rumah tangga yang naik 0,25% secara kuartalan dan 4,54% year-on-year. Capaian itu pun masih lebih rendah dibanding masa sebelum pandemi yang rata-rata di atas 5%.

Sedangkan enam sumber pertumbuhan lain semua masih negatif secara kuartalan pada tiga bulan pertama 2023, dipimpin oleh konsumsi pemerintah (-45,38%) sesuai pola historisnya, disusul masing-masing oleh kinerja ekspor barang dan jasa (-5,4%), dikurangi impor barang dan jasa (-6,95%), investasi PMTB (-3,72%), serta konsumsi LNPRT (-0,97%).

(rui/roy)