Inflasi yang sudah sangat rendah di 2,28% pada September menjadi alasan terbesar mengapa ruang kenaikan bunga acuan dinilai belum cukup memadai kendati rupiah selama beberapa waktu belakangan mencatat pelemahan begitu cepat.
Gelombang jual di pasar surat utang tak terhenti dengan yield semua tenor terus merangsek naik dengan SUN tenor 10 tahun sudah di 6,83%. Namun, lonjakan imbal hasil surat utang Amerika, Treasury, yang lebih dramatis terakhir terpantau di kisaran 4,94%, membuat selisih imbal hasil antara dua negara semakin sempit.
Saat ini, yield spread surat utang AS dan Indonesia hanya berjarak 191 bps. Ini menjadi sinyal gelombang jual masih akan tinggi hingga selisih surat utang bisa kembali kompetitif di kisaran 300-350 bps. Maret lalu selisih imbal hasil mencapai level tertinggi hingga 340 bps.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, arus keluar modal asing dari pasar obligasi Indonesia sudah mencapai US$ 618 juta hanya di Oktober saja, angka itu setara dengan Rp9,79 triliun. Sementara pada September saja nilai capital outflow sudah US$ 1,1 miliar, setara Rp17,42 triliun. Alhasil, sedikitnya dana asing sudah hengkang Rp27,21 triliun sejak September.
Ekonom menyoroti adanya risiko yang tidak bisa diabaikan bila BI tetap berkukuh mempertahankan bunga acuan dan melanjutkan strategi intervensi langsung demi menjaga rupiah.
"Preferensi BI yang terus berlanjut dengan memilih intervensi valas ketimbang mengerek policy rate bisa menempatkan perekonomian pada risiko mengalami "defisit likuiditas ganda" yang disebabkan oleh penurunan jumlah uang beredar baik valas maupun rupiah," jelas Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, yang memperkirakan BI akan mengerek bunga acuan ke 6% dalam RDG bulan ini.
Bank sentral menjaga stabilitas nilai tukar melalui intervensi. Caranya, ia memasok valas ke pasar dengan menarik likuiditas rupiah menjadi kebijakan moneter kontraksi.
"Dengan posisi cadangan devisa sudah turun US$ 10 miliar dalam 6 bulan terakhir, BI telah menyerap likuiditas rupiah sebesar Rp150 triliun dari bank-bank domestik," jelasnya.
Sementara pendapat berbeda dilontarkan mayoritas ekonom yang menilai BI tidak memiliki ruang menaikkan bunga acuan karena inflasi domestik sudah sangat rendah hampir mendekati level bawah target bank sentral.
"Inflasi mendekati batas bawah target BI dan tetap stabil dengan output yang tidak berpotensi menimbulkan tekanan harga terlalu besar. Itu membuka jalan bagi penurunan bunga acuan, akan tetapi hanya bila nilai rupiah sudah kuat. Kenaikan bunga acuan Agustus 2022 hingga Januari lalu lebih ditujukan untuk stabilisasi mata uang," jelas Ekonom Bloomberg Economics Tamara M. Henderson, seperti dilansir dari Bloomberg News, Rabu (18/9/2023).
(rui)