Kemunculan ChatGPT Tunjukkan Urgensi Kemampuan Berpikir Kritis
Rezha Hadyan
22 March 2023 13:32

Bloomberg Technoz, Jakarta - Penggunaan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam aplikasi ChatGPT menunjukkan semakin besarnya urgensi penguasaan kemampuan berpikir kritis atau critical thinking yang memadai di kalangan pelajar atau siswa.
ChatGPT adalah robot atau chatbot berbasis kecerdasan buatan yang mampu melakukan percakapan dan memberikan jawaban terhadap kebutuhan serta pertanyaan penggunanya. GPT merujuk pada Generative Pre-Trained Transformer, di mana chatbot akan memberikan jawaban persis manusia di saat pengguna mengirimkan perintah atau pertanyaan. Jawaban yang diberikan berbentuk teks otomatis.
“ChatGPT memberikan kemudahan bagi siswa untuk proses belajarnya. ChatGPT dapat membantu mereka untuk memahami materi pembelajaran melalui jawaban-jawabannya. Akan tetapi, sangat penting untuk menggunakan critical thinking skills untuk menggunakan ChatGPT secara produktif dan tepat,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuza melalui keterangan resmi, dikutip Rabu (22/3/2023).
Oleh karenanya cara berpikir kritis atau critical thinking bisa menjadi fondasi siswa untuk bisa menggunakan ChatGPT secara produktif. Secara detail yaitu bijak menyeleksi dan menggunakan jawaban yang dihasilkan ChatGPT untuk membantu mereka dalam proses belajarnya.
ChatGPT hanya merupakan salah satu inovasi teknologi yang, salah satunya, berdampak pada sektor pendidikan. Pengembangan kemampuan berpikir kritis akan membantu siswa dalam mencerna dan memanfaatkan konten-konten yang mereka temui.
Nadia melanjutkan, alih-alih melarang, yang lebih penting itu adalah bagaimana sekolah dan guru-guru itu bisa memberikan materi terkait literasi digital dan memperkenalkan AI kepada siswa dengan lebih masif. Dengan begitu, siswa jadi tahu apa saja yang diperbolehkan dan apa yang tidak boleh, dengan menetapkan koridor.

Baca Juga
Koridor penting dilakukan karena ChatGPT atau language model platform dapat digunakan untuk melakukan kecurangan akademis, seperti plagiarisme berbasis kecerdasan buatan.
“Jadi memang lebih baik sekolah memperkenalkan teknologinya, seperti apa memberikan koridor atau mungkin ruang untuk apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, dan kemudian ya bisa evaluasi dari peraturan yang dibuat oleh sekolah dan guru tersebut,” ujar Nadia.
Adanya kekhawatiran terkait plagiarisme dan berbagai praktik kecurangan dalam pendidikan dengan bantuan kecerdasan buatan, lanjut Nadia, kurang beralasan karena praktik serupa, misalnya joki ujian, sudah berlangsung jauh sebelum ChatGPT datang.
"Daripada melarang, pemerintah sebaiknya fokus pada kebijakan yang bertujuan untuk memfasilitasi atau juga bahkan mungkin memperkenalkan ChatGPT sebagai bentuk perubahan teknologi yang masuk ke sektor pendidikan," pungkasnya.
Disrupsi teknologi pada sektor pendidikan akan terus terjadi, sehingga kemunculan satu demi satu inovasi tidak perlu dikhawatirkan.

Jadi memang di satu sisi kita perlu terbuka terhadap teknologi, namun seraya tetap mengembangkan skill yang tidak akan tergantikan oleh teknologi itu, seperti kemampuan berpikir kritis.
“ChatGPT ini juga dapat menjadi cambuk bagi sektor pendidikan untuk terus berbenah dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya,” tandas Nadia.
Bagaimana caranya untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis merupakan respons yang adaptif untuk mengakomodasi teknologi dengan cara yang produktif yang pada akhirnya akan berdampak baik terhadap students outcome.
(rez/wep)