Logo Bloomberg Technoz

Ekonom Kritik UMP 6,5%: Terlalu Rendah untuk Dorong Konsumsi

Redaksi
30 November 2024 08:30

Sejumlah buruh melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Kemnaker, Kamis (7/11/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)
Sejumlah buruh melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Kemnaker, Kamis (7/11/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Bloomberg Technoz, Jakarta - Ekonom mengkritik kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% pada 2025 masih terlalu rendah untuk mendorong konsumsi rumah tangga, sebagai komponen utama pertumbuhan ekonomi.

Hal ini disampaikan Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menanggapi keputusan Presiden Prabowo Subianto terkait UMP 2025 yang akan naik 6,5% tahun depan. Keputusan ini diumumkan usai Rapat Terbatas dengan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Tenaga Kerja Yassierli di Istana Negara Jakarta, Jumat (29/11/2024).

Bhima menilai Presiden Prabowo Subianto masih terlalu hati-hati dalam menggunakan komponen UMP sebagai cara mendorong pemulihan daya beli tahun depan. Dengan formula lama di Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, menurut dia, seharusnya pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi, atau 4,95% ditambah 1,84%, sehingga angkanya menjadi 6,79%.

"Ini setelah Undang-undang Cipta Kerja dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), formula upah minimum kok jadi lebih kecil dari aturan sebelumnya? Angka 6,5% jauh dari cukup. Pemerintah seharusnya transparan soal formulasi upah minimum," kata Bhima kepada Bloomberg Technoz, Sabtu (30/11/2024).

Dia juga mengatakan, dengan naiknya berbagai beban masyarakat seperti PPN 12%, iuran BPJS Kesehatan naik, Tapera, dan asuransi wajib kendaraan, jelas 6,5% UMP terlalu rendah.

Bloomberg Billionaires Index Indonesia